Senin, 27 April 2015

Risalah Akhir Sekolah: Dinamika Empat Penjuru Mata Angin (part 2)

Satu, dua, tiga..... setidaknya, ada satu sampai tiga sahabat dekatku yang memiliki berbagai variasi argumentasi atas pilihanku menapaki jurusan IPS ini. Yang mendukung, kuhanya bisa ucapkan beribu terimakasih atas doa dan dukungannya. Yang menolak, aku hanya bisa bungkam seribu bahasa karena toh aku belum bisa membuktikan keberhasilanku di komunitas ini.

Sejujurnya, aku tidak pernah tahu akan mengambil jurusan apa di perguruan tinggi sebagai konsekuensi atas pilihanku ini. Ya, satu hal yang kulontarkan di awal yang cukup membuat geger adalah aku ingin masuk jurusan Psikologi.

Seiring berjalannya waktu, aku merasakan perubahan dalam diriku. Mulai kutemukan bakatku di salah satu bidang yang membuat orang tua ku bernapas lega. Ya, ulangan pertama akuntansi menjadi titik tolak dari penetapan tujuan hidupku ke depan. Berhasil memperoleh angka 80 pada ulangan pertama akuntansi. Aku sumringah, mencoba membuat sebuah dobrakan baru bagi komunitas ini. Namun lompatan itu akan kubahas nanti.

Komunitas SOS 15 adalah komunitas yang unik. Di awal masa kelahirannya, komunitas ini bahkan mulai melakukan segregasi. Tidak mudah memang menyatukan ke-38 karakter yang berbeda sehingga punya satu visi dan misi yang sama. Aku ingat betul bagaimana terkotak-kotakkannya komunitas ini. Ada kumpulan orang yang selalu bertingkah konyol, ada sekelompok orang yang sama-sama berminat untuk main game di kelas, ada sekelompok orang pencinta futsal, dan ada sekelompok orang yang senang pergi jalan-jalan dengan segala hedonismenya. Konsekuensi dari segregasi inilah yang membuat kami selalu berdinamika dan bergejolak.

Namun, segregasi ini menciptakan aura kompetisi yang maksimal. Kami berusaha untuk menggapai pelbagai prestasi terbaik, baik di bidang akademis maupun non akademis. Lomba menjadi salah satu sarana untuk membuktikannya. Aku terjun di 4 bidang sekaligus: Tenis meja, jurnalistik, mural, dan akuntansi. Keempat penjuru ini kujalankan beriringan satu dengan yang lain. Ya, resiko ini aku ambil sebagai sebuah konsekuensi akan sebuah prinsip, bahwa bukan yang terpandai yang akan menang, tetapi yang terberani dalam mengambil resiko dari setiap perjalanan hidup. Tahun pertamaku di SOS 15 kututup dengan penghargaan apresiasi non akademis yang menciptakan kebanggaan dalam diriku.

Seorang pemimpin tidak hanya excel di bidang akademis, tetapi juga mampu memiliki kepribadian yang kuat dan kemampuan non akademis yang memadai. Dari sinilah aku mulai belajar untuk menanamkan jiwa kepemimpinan dalam diriku secara lebih dalam melalui pelbagai perlombaan. Suka atau tidak suka, inilah salah satu faktor terbesar pembentuk kepribadianku,
Karena Kanisius, ....

A place where leaders of service are made

Sabtu, 25 April 2015

Catatan Akhir OIC : Belajar dari Kesalahan, Berubah dari Kesadaran, Berakhir dengan Kemenangan

Hari ini menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku. Berdiri, dan berkompetisi di panggung grand final Olimpiade Indonesia Cerdas, tidak pernah ada di benakku sebelumnya. Bertanding di kompetisi sebesar dan sekaliber OIC dengan membawa nama almamater di pundakku, ya aku tak pernah bermimpi sebelumnya.

Aku selalu berpegang pada suatu prinsip bahwa belajar itu bukan hanya dari buku dan sekolah, tetapi dari pengalaman, dan kehidupan adalah sebuah proses, bukan sebuah tujuan. Maka dari itu, meskipun aku bukan siswa terpandai di sekolah, aku mau turun itu ikut ambil bagian dalam kegiatan OIC ini. Maka, menjadi runner-up dalam kompetisi ini adalah sebuah anugerah yang sangat berharga dari Tuhan. Kejayaan bukanlah milik mereka yang punya kepandaian, tetapi mereka yang mau mengambil resiko, dan memperjuangkan segala konsekuensi dari resiko itu untuk satu tujuan.

Bukan soal juara 2, juara 1, atau juara 3 yang menjadi penekanan dari acara ini bagiku. Yang terpenting adalah bagaimana ketika aku hidup, tumbuh, dan berproses di dalam kegiatan ini sehingga menjadi salah satu faktor pembentuk kepribadianku.

Di babak terakhir penyisihan daerah, SMA Kanisius dikalahkan oleh SMAN 61 Jakarta. Salah satu kesalahan terbesar kami adalah tidak mempersiapkan pertandingan itu sama sekali. Pertemuan kami dengan Edwin dkk untuk yang kedua kali di babak play off kemarin menjadi titik tolak dimana kami mulai mempersiapkan diri dengan matang. Ah, alhamdullilah, kami berhasil menjadi peringkat pertama dan melaju ke babak grand final.

Satu hal yang paling mengena di dalam hatiku adalah kata-kata Kak Erwin Parengkuan ketika kami berhasil lolos di babak playoff. “Kalau kalian menang, moodnya bagus, itu sudah biasa. Tetapi ketika kalian kalah, moodnya tetap bagus, inilah yang perlu diangkat topi”. Aku mencoba menanamkan nilai tersebut di dalam hatiku.

Semenjak mengikuti OIC Season 2, tanpa kusangka-sangka, semakin banyak lagi orang yang mengenalku melalui perjumpaan di layar televisi. Aku senang karena semakin banyak doa yang mengalir untuk mendukung SMA Kanisius. Melalui pengalaman ini, aku mulai belajar untuk menghargai orang-orang banyak, meskipun sulit karena semua notifikasi di semua sosial media yang kumiliki datang bagaikan tsunami yang membuatku bingung untuk membalas semuanya.

Maka dari itu, melalui tulisan ini, aku ingin berterimakasih kepada semua orang yang telah mendukung kami tim SMA Kanisius. Kami tidak bisa membalas segala doa dan dukungan kalian kecuali dengan rasa terimakasih kami yang sebesar-besarnya.

Kami juga berterimakasih kepada semua orang yang terlibat langsung untuk mendukung kami di studio maupun luar studio. Para mom’s CC, kak Joy, kak Zia, Kak Tolikin, Mas Trie, Mas Cemong, Bang Ocep, dan seluruh kru yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Kami juga berterimakasih khususnya kepada Kak Nirina Zubir yang selalu mendukung kami dengan mau digombalin oleh beberapa rekan kanisian, Kak Ira Koesno yang selalu mengkritik kami sehingga kami selalu mawas diri dan menjadi lebih terpacu untuk menjadi lebih baik, Kak Erwin Parengkuan, serta Kak Shahnaz yang selalu memacu dan mensupport kami dengan berbagai kata-kata mutiara yang membuat kami bangkit ketika kami jatuh. Salam untuk Charlotte dan Pru J

Yang terakhir, terimakasih kepada seluruh Keluarga Besar Kolese Kanisius, yang di dalam suka dan duka kita saling membantu. Tak kenal putus asa, dengan gigih terus maju. Dengan segala kekonyolan dan kelucuan, serta kepandaian dan kebijaksanaan selalu ada di sisi kami. To be men for and with others.

Satu catatan akhir yang perlu ditekankan, bahwa kemenangan ini bukanlah kemenanganku, Widi, ataupun Bimo, tetapi merupakan kemenangan bagi seluruh Keluarga Besar Kolese Kanisius, serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Semoga Tuhan memberkati semuanya.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Alexander Michael, “Layar masih terkembang, dan perahu tetap berlayar”. Begitupula hidupku, Widi dan Bimo. Ada ribuan tantangan yang menunggu di depan, ada jutaan pilihan yang harus kami hadapi, tetapi semuanya itu adalah sarana untuk mencapai tujuan manusia diciptakan, untuk memuji dan memuliakan Tuhan (Latihan Rohani no. 23).


Mungkin OIC Season 2 telah berakhir dan mungkin kemarin malam adalah terakhir kalinya kami tampil di layar televisi. Ada perjumpaan, ada perpisahan, tetapi tidaklah afdol ketika kita hanya melihat awal dan akhirnya saja. Alpha, tidak akan pernah sampai pada Omega tanpa Beta dan kawan-kawannya. Semoga perjumpaan singkat selama kurang lebih dua setengah bulan lalu bisa memberikan makna bagi semua orang yang menyaksikan kami. Percayalah, bahwa doa kami selalu ada di hati semua orang yang terlibat untuk mendukung kami. Hari ini adalah kenyataan, hari esok adalah harapan. Jadikan hidup ini penuh makna. 

AD MAIOREM DEI GLORIAM
Demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan


Jumat, 17 April 2015

Risalah Akhir Sekolah : Awal yang Menggugah, Awal yang Menggubah (part 1)

Hidup adalah bijih besi, yang diproses, ditempa, diubah bentuknya, serta ditambah nilai gunanya. Tetapi layaknya besi, hidup juga terpapar oleh panasnya sinar matahari, terhujam oleh butiran hujan yang tanpa kenal ampun masuk merasuk ke dalam setiap rongga yang menganga dan mengubah bentuk dari yang tadinya berguna, menjadi rongsokan.

Hidup adalah sebuah proses, dan disinilah aku memulai sebuah titik penempaan paling berarti sepanjang hidupku.

28 Juni 2013.

Ya, setidaknya tanggal itulah yang tertera di rapor akhir kelas X-A  semester 2. Di titik itulah aku telah menentukan pilihanku. Jika ditelaah kembali ke belakang, banyak pergolakan yang terus membuncah di kepalaku, serta banyak kegalauan dan kekhawatiran yang menghantui hatiku. Kira-kira dua bulan sebelum penjurusan, aku sempat melontarkan keinginanku untuk melanjutkan studi perguruan tinggiku di jurusan teknik kimia, dan aku telah melakukan langkah yang salah. Di hari penentuan jurusan, tantangan datang bertubi-tubi. “Kamu mau masuk teknik kimia, bukan? Sudah siap masuk IPA dong?” Kata-kata itu yang terus diucapkan oleh kedua orang tuaku berulang kali dalam perjalanan dari rumah menuju ke sekolah. Aku bungkam seribu bahasa.

Setibanya di depan gerbang almamaterku, aku disuguhi aneka ekspresi rekan-rekan sejawatku. Bahagia dan puas, silih berganti dengan ekspresi kekecewaan dan keputus asaan. Begitu juga dengan raut wajah para orang tua. Senyum, bergulir bersama kemarahan dan rasa kesal. Rapor yang diterima beberapa waktu lalu menjadi alasan mengapa mereka menyembulkan pelbagai ekspresi itu.

Ah, aku cukup bersyukur karena setidaknya aku adalah sang pemilih, bukan yang dipilih. Lepas dari apakah pilihanku sama dengan orang tuaku, semua masih menjadi misteri hingga kami masuk ke ruangan luas yang terletak persis disamping patung The Thinker yang selalu mengekspresikan raut kegalauan.

Tiga menit selanjutnya berubah menjadi sebuah pergolakan batin antara tiga manusia yang memiliki relasi terdekat ini. Layaknya segitiga bermuda, tiga titik yang tidak bisa menyatu merepresentasikan apa yang terjadi di ruangan itu. Dua puluh menit berargumentasi, aku pun menetapkan bahwa aku akan menjadi bagian dari keluarga besar SOS ’15.

Dan aku terus membayangkan petualangan apa yang akan terjadi dua tahun kedepan bersama manusia-manusia sosial ini…


(bersambung)