Kata salah
satu iklan rokok, “Life is an adventure”. Akan tetapi bagiku, “Life is about
choices and challenges”. Ya, tantangan dan pilihan selalu muncul silih berganti
pada periode awal adaptasiku di komunitas SOS ’15 ini.
Pada suatu
senja, aku duduk di depan ruang guru sedang menunggu Ibu Dwi Hardjanti untuk
mengumpulkan tugas ekonomi. Tidak lama, Ibu Dwi keluar dari ruang guru. Aku pun
segera menghampiri dan menyerahkan tugas ekonomiku. Kami pun berbasa-basi
sejenak. “Rencana, mau jadi apa Le, kalau sudah besar nanti.”, tanya Ibu Dwi
kepadaku. Aku pun menerangkan kembali peristiwa saat pemilihan jurusan, konflik
dan peliknya ketika perdebatan dan argumentasi harus muncul saat menentukan
pilihan hidup. “Mungkin saja, ikut jejak mama, jadi akuntan. Hehehe….”, jawabku
ringan di akhir penjelasanku. Sejenak, Bu Dwi terdiam seperti mengenang memori
masa lampau yang sudah lama terpendam. “ Dulu, Kanisius punya nama besar dalam
dunia akuntansi di kalangan pelajar SMA. Tetapi itu dua puluh tahun yang lalu.
Setelah itu, kita vakum, hilang dari peredaran seperti ditelan bumi, hingga
detik ini.”, begitu kata Bu Dwi. Aku pun tertegun sejenak mendengar ceritera
beliau. Bagaimana seluk-beluk, pahit-manisnya perjalanan Ibu Dwi bersama Pak
Dirman dalam memoles anak-anak berkualitas dari Kanisius, hingga akhirnya, nama
besar itu harus kalah oleh tindakan-tindakan tidak jujur dan tidak adil. Terlintas
sejenak pemikiranku untuk menggali kembali pusaka yang telah terpendam
lama.
Aku selalu
terngiang-ngiang akan perkataan Romo Mintara kepada siswa-siswa SMP Kanisius, “You
are men on missions. You are the agent of change”. Aku sadar betul bahwa
kata-kata itu bukanlah wejangan semata, melainkan sebuah semangat yang dibangun
dalam jiwa setiap kanisian. Iseng, kucoba mencari kompetisi akuntansi yang
diselenggarakan di daerah Jakarta dan sekitarnya. Nah, ada satu kompetisi
bernama Olimpiade Akuntansi dan Pasar Modal tingkat nasional. Dari namanya
saja, sudah menunjukkan kelasnya sebagai kompetisi tingkat nasional.
Meskipun
dengan ilmu seadanya karena baru di awal pertengahan semester 1 kelas 11,
dimana baru 3 bulan belajar akuntansi, dengan sedikit keberanian, aku utarakan
ideku kepada Pak Dirman dan Bu Dwi tentang rencana mengikuti kompetisi ini.
Kuhubungi Pak Dirman terlebih dahulu karena memang beliau adalah guru pengampu
mata pelajaran akuntansi. Seperti kataku diawal, hidup tidak hanya soal pilihan,
tetapi juga soal tantangan. Maka, tantangan itu justru datang dari dalam
komunitas sendiri. Ya, penolakan dari sang guru. Alasan-alasan logis
dilontarkan secara bertubi-tubi. “Materi yang kalian pelajari masih terlalu
dangkal. Nanti kalau kalah bisa bikin malu Kanisius. Lomba akuntansi itu ga
mudah lho, butuh persiapan panjang”. Kuhitung mundur. Satu bulan persis untuk
mempersiapkan diri. Dengan keyakinan, aku pun berkata pada beliau, “Dengan
segala keterbatasan kami, pak, kami ingin mencoba.” Pak Dirman akhirnya
mengiyakan dengan syarat beliau tidak mau memberikan jam tambahan untuk
persiapan lomba ini.
Aku pun
mempertimbangkan kembali semua alasan-alasan Pak Dirman. Semua benar. Mungkin memang seharusnya aku
tidak mengambil keputusan ini. Maka selanjutnya pun, aku mencoba menghubungi
Ibu Dwi. Beliau sangat antusias dengan ide ini, dan beliau juga setuju untuk
membantu kami mempersiapkan materi-materi yang belum kami kuasai. Ah, satu
pintu lagi terbuka untuk mengejar mimpi ini.
Akhirnya,
dipilihlah enam pelopor yang bersedia dan mau untuk mencoba masuk kedalam dunia
yang sama sekali belum kami kenal. Yaitu dunia kompetisi akuntansi. Sore itu,
aku, Ais, Dave, Tata, Adrian, dan Hero bersama Ibu Dwi merancang sebuah master
plan untuk jadwal belajar untuk mengejar materi yang harus diselesaikan sebulan
kedepan. Ketika aku kilas balik kembali, kusadari betul bahwa master plan itu
bukanlah master plan biasa, tetapi adalah sebuah master plan untuk menggapai
sebuah mimpi. Keberhasilan adalah mimpi yang dipersiapkan.
Maka, sore itu kami
mulai menyusun kepingan mimpi-mimpi kami sebagai penggagas awal komunitas
akuntansi ini.
(to be continued)