Jumat, 08 Mei 2015

Risalah Akhir Sekolah : Langkah Pertama (part 3)

Kata salah satu iklan rokok, “Life is an adventure”. Akan tetapi bagiku, “Life is about choices and challenges”. Ya, tantangan dan pilihan selalu muncul silih berganti pada periode awal adaptasiku di komunitas SOS ’15 ini.

Pada suatu senja, aku duduk di depan ruang guru sedang menunggu Ibu Dwi Hardjanti untuk mengumpulkan tugas ekonomi. Tidak lama, Ibu Dwi keluar dari ruang guru. Aku pun segera menghampiri dan menyerahkan tugas ekonomiku. Kami pun berbasa-basi sejenak. “Rencana, mau jadi apa Le, kalau sudah besar nanti.”, tanya Ibu Dwi kepadaku. Aku pun menerangkan kembali peristiwa saat pemilihan jurusan, konflik dan peliknya ketika perdebatan dan argumentasi harus muncul saat menentukan pilihan hidup. “Mungkin saja, ikut jejak mama, jadi akuntan. Hehehe….”, jawabku ringan di akhir penjelasanku. Sejenak, Bu Dwi terdiam seperti mengenang memori masa lampau yang sudah lama terpendam. “ Dulu, Kanisius punya nama besar dalam dunia akuntansi di kalangan pelajar SMA. Tetapi itu dua puluh tahun yang lalu. Setelah itu, kita vakum, hilang dari peredaran seperti ditelan bumi, hingga detik ini.”, begitu kata Bu Dwi. Aku pun tertegun sejenak mendengar ceritera beliau. Bagaimana seluk-beluk, pahit-manisnya perjalanan Ibu Dwi bersama Pak Dirman dalam memoles anak-anak berkualitas dari Kanisius, hingga akhirnya, nama besar itu harus kalah oleh tindakan-tindakan tidak jujur dan tidak adil. Terlintas sejenak pemikiranku untuk menggali kembali pusaka yang telah terpendam lama.

Aku selalu terngiang-ngiang akan perkataan Romo Mintara kepada siswa-siswa SMP Kanisius, “You are men on missions. You are the agent of change”. Aku sadar betul bahwa kata-kata itu bukanlah wejangan semata, melainkan sebuah semangat yang dibangun dalam jiwa setiap kanisian. Iseng, kucoba mencari kompetisi akuntansi yang diselenggarakan di daerah Jakarta dan sekitarnya. Nah, ada satu kompetisi bernama Olimpiade Akuntansi dan Pasar Modal tingkat nasional. Dari namanya saja, sudah menunjukkan kelasnya sebagai kompetisi tingkat nasional.

Meskipun dengan ilmu seadanya karena baru di awal pertengahan semester 1 kelas 11, dimana baru 3 bulan belajar akuntansi, dengan sedikit keberanian, aku utarakan ideku kepada Pak Dirman dan Bu Dwi tentang rencana mengikuti kompetisi ini. Kuhubungi Pak Dirman terlebih dahulu karena memang beliau adalah guru pengampu mata pelajaran akuntansi. Seperti kataku diawal, hidup tidak hanya soal pilihan, tetapi juga soal tantangan. Maka, tantangan itu justru datang dari dalam komunitas sendiri. Ya, penolakan dari sang guru. Alasan-alasan logis dilontarkan secara bertubi-tubi. “Materi yang kalian pelajari masih terlalu dangkal. Nanti kalau kalah bisa bikin malu Kanisius. Lomba akuntansi itu ga mudah lho, butuh persiapan panjang”. Kuhitung mundur. Satu bulan persis untuk mempersiapkan diri. Dengan keyakinan, aku pun berkata pada beliau, “Dengan segala keterbatasan kami, pak, kami ingin mencoba.” Pak Dirman akhirnya mengiyakan dengan syarat beliau tidak mau memberikan jam tambahan untuk persiapan lomba ini.

Aku pun mempertimbangkan kembali semua alasan-alasan Pak Dirman.  Semua benar. Mungkin memang seharusnya aku tidak mengambil keputusan ini. Maka selanjutnya pun, aku mencoba menghubungi Ibu Dwi. Beliau sangat antusias dengan ide ini, dan beliau juga setuju untuk membantu kami mempersiapkan materi-materi yang belum kami kuasai. Ah, satu pintu lagi terbuka untuk mengejar mimpi ini.


Akhirnya, dipilihlah enam pelopor yang bersedia dan mau untuk mencoba masuk kedalam dunia yang sama sekali belum kami kenal. Yaitu dunia kompetisi akuntansi. Sore itu, aku, Ais, Dave, Tata, Adrian, dan Hero bersama Ibu Dwi merancang sebuah master plan untuk jadwal belajar untuk mengejar materi yang harus diselesaikan sebulan kedepan. Ketika aku kilas balik kembali, kusadari betul bahwa master plan itu bukanlah master plan biasa, tetapi adalah sebuah master plan untuk menggapai sebuah mimpi. Keberhasilan adalah mimpi yang dipersiapkan. 

Maka, sore itu kami mulai menyusun kepingan mimpi-mimpi kami sebagai penggagas awal komunitas akuntansi ini. 

(to be continued)

Minggu, 03 Mei 2015

Catatan Pra Kuliah : Untuk Perempuan Berkaus Merah Muda

Waktu tak akan pernah berlalu dengan sia-sia. Tetapi kita bisa menyia-nyiakan waktu. Ada sebuah masa dimana manusia mampu bangkit dan tenggelam dalam warna-warna kehidupan. Tenggelam, menuai rasa sakit, yang kadang tidak terperi. Bangkit, oleh sebuah harapan yang pantas diperjuangkan. 

Cinta itu adalah representasi dari hati yang dituangkan dalam gelombang transversal. Lewat gurun, lembah, gunung, bukit, dan samudra, serta berjuta kelokan yang entah tak jelas garis batasnya, kita semua terus berlari. Lari dari apa? Kadang kita pun tidak bisa mendefinisikan sesuatu yang mengejar kita. Atau, lari untuk apa? Kita pun sulit mendefinisikan untuk apa kita berlari. Setidaknya, janganlah lari dari kenyataan. 

Hidup itu layaknya DAS. Ada yang dendritik, pinnate, annular, radial. Tergantung, tergantung dari topografi yang ada, tergantung dari latar belakang kisah kita, dan tergantung dari kemauan kita untuk membentuk pemikiran kita. Dendritik, ketika kita menyukai petualangan, ingin tahu banyak hal. Maka ada ribuan, bahkan jutaan pilihan atas cabang yang menunggu kita. Tetapi, tidak semua aliran bermuara baik, bukan? 

Untuk sahabatku yang sedang dalam permenungan. Lewat fajar kita berharap, lewat senja kita berefleksi. Dan esok pagi, kita masih bisa melihat fajar yang sama. Dan semua itu terus berulang hingga akhir hayat. Ada jutaan ikan di lautan, ada siklus yang mengawali dan mengakhiri kehidupan terumbu karang. Ada miliaran pria di dunia ini, tetapi toh, hanya satu yang akan kau bawa pulang, bukan? Kalau kita sudah tahu akhirnya, buat apa kita terus menerus merenungkan hal yang sudah jelas? Atau mungkin ingin lihat prosesnya? Proses bukanlah tujuan, melainkan pembelajaran untuk mencapai tujuan itu. Samudra Pasifik hanya berjarak sepelemparan batu. Ya, 6.812 mil hanyalah jarak fisik. Tapi ada jarak hati, dan jika memang sudah digariskan, Mars dan Bumi pun hanya selangkah kaki.