Jumat, 28 Agustus 2015

Catatan Tengah OSPEK : Masihkah Kita Berbahasa Indonesia?

"Rapat kiri, rapat kiri! Cepat dik! SUSUL teman di depannya!"

Teriakan-teriakan itulah yang saya dengar karena terus didengungkan oleh tim Komdis OPK FEB UI 2015 (Komisi Disiplin Orientasi Pengenalan Kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia). Sebagai seorang Maba (Mahasiswa Baru), tentunya saya harus mengikuti instruksi dari mereka. Kalau tidak, tentu teriakan yang lebih keras harus saya tanggung sebagai konsekuensi atas tindakan penyelewengan tersebut.

Tetapi tunggu dulu...

Ada sebuah keganjilan disini. Ada sebuah ambiguitas yang sering tidak kita sadari sepenuhnya. Kata "susul" apabila kita telaah lebih dalam, ternyata memiliki dua arti. Kata "susul" memiliki arti: mengejar yang ada di depannya. "Susul" juga berarti mengikuti yang sudah terlebih dahulu di depannya. Tidak salah memang, tetapi mungkin bagi sebagian orang, konsep yang tertanam didalam kepala mereka adalah pengertian yang kedua. Tentu kita sering mendengar para sopir angkot "menyusul" mobil yang di depannya. Ataupun juga, "susul" bisa berarti datang kemudian. Tentu kita sering mendengar kata-kata "Saya menyusul nanti ya". Artinya, konteks penggunaan bahasa disini masih bisa dipertanyakan.

Sebagai anggota dari salah satu universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia, terkadang kita masih kurang memahami dengan sungguh, dan mengaplikasikan dengan serius penggunaan bahasa di lingkungan kampus. Terlebih lagi, kata-kata tersebut keluar dari mulut para Komdis yang notabene bertugas untuk "mendisiplinkan" para maba.

Dalam hemat saya, masih ada kata-kata lain yang bisa digunakan untuk menginstruksikan maba yang terdengar lebih pas, seperti "Rapatkan barisannya, dik!", dan "Maju dik!". Memang hal semacam ini terkesan sebagai hal yang remeh-temeh. Tetapi bagi saya, proses pendidikan adalah proses pencarian kebenaran, dan kebenaran bukanlah sesuatu yang penuh ambiguitas. Terkadang, kita suka melupakan hal-hal sederhana semacam ini. Tidak hanya zaman sekarang, tetapi dari beberapa dekade yang lalu, perihal bahasa adalah perihal yang suka diremehkan. Menurut J. Drost, SJ (2006:27), "Di Indonesia, cara kita menangani proses penerimaan mahasiswa sama sekali lain dan tidak memperhatikan aspek itu (bahasa-red).

Pendidikan humaniora menjadi alasan fundamental mengapa penggunaan Bahasa Indonesia terkesan tidak begitu dipentingkan. Saya pun masih sering menggunakan Bahasa Indonesia dengan salah tanpa mengetahui letak kesalahan dan tanpa menyadari bahwa saya melakukan hal yang salah. Menurut J.Drost, SJ (2006:28), "Bahasa Indonesia untuk calon intelektual kita(mahasiswa-red) bukan merupakan sarana humaniora." Penggunaan bahasa di lingkungan perguruan tinggi yang masih salah, apalagi di salah satu universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia menjadi refleksi bersama bagi kita, apakah kita sebagai mahasiswa Universitas Indonesia sudah layak menyandang sebutan "mahasiswa terbaik di Indonesia"? Masihkah juga kita layak berbangga menyebut Universitas Indonesia sebagai universitas terbaik di Indonesia, jika fenomena semacam ini masih sering terjadi dan masih dijadikan hal yang biasa?

Tentunya tulisan ini hanyalah gambaran satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di lingkungan Universitas Indonesia. Ada kasus-kasus lain yang lebih parah, ada juga yang lebih ringan terkait penggunaan bahasa. Tulisan ini juga bukanlah sebuah tulisan akademik yang disusun secara ilmiah. Tulisan ini juga bukan bertujuan untuk menyerang satu-dua pihak yang berada dan bertanggung jawab terhadap permasalahan ini di lingkungan Universitas Indonesia. Tetapi yang saya harapkan, semoga tulisan ini menjadi refleksi kita bersama agar tidak terlalu menjadikan diri tinggi hati menjadi bagian dari warga Universitas Indonesia, karena toh, mempertahankan kedaulatan berbicara di negeri sendiri pun kita belum becus.

Semoga...

Referensi:
  • J. Drost, SJ. 2005. Dari KBK Sampai MBS: Esai-esai Pendidikan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
  • http://kbbi.web.id/susul diakses pada 28 Agustus 2015, 16.15 WIB

Selasa, 04 Agustus 2015

Catatan Pra Kuliah : Ketika Sayap-sayap Itu Mulai Melesat Lebih Tinggi

Ada sebuah pepatah, "Mengapa ada perjumpaan jika harus ada perpisahan".

Hidup yang benar-benar hidup telah kurasakan selama kurang lebih dua tahun. Ya, dua tahun aku mengarungi kehidupan bersama rekan-rekan sejawat yang menamakan diri kami "Sosial 15". Aku masih ingat betul, betapa kami pada awalnya begitu terkotak-kotakkan. Ada kawanan "haus", ada kawanan "borjuis", ada kawanan "surfing" (baca: tukang tidur di kelas), bahkan ada kawanan "anker" alias "anak kereta".

Dua tahun, kami digodok, berproses dalam dinamika belajar. Ya, "belajar" menjadi sebuah kata dengan sejuta makna. Aku tidak hanya belajar tentang hal-hal akademik saja, melainkan juga belajar untuk "hidup". Hidup untuk berbagi, peduli, mau saling membantu satu dengan yang lain.

Tentu, tiga bulan pertama bukanlah waktu yang mudah bagi kami untuk saling belajar. Namun Tuhan sungguh luar biasa. Kami mulai saling mengerti satu sama lain. Kami yang pemalu, mulai berubah menjadi agak berani. Kami yang egois, mulai belajar bagaimana berbagi dengan orang lain.

Inilah kami, saat pertama kali berjumpa dan melabelkan diri dengan titel "Sosial 15". Masih dengan ego masing-masing, masih dengan rasa kurang percaya diri, masih dengan segala egosentrisme yang melekat erat
Kemudian, hadirlah para pendidik yang mendidik kami dengan sejuta karakter, dengan kelebihan dan kekurangan mereka. Saling lempar argumentasi, sembunyi-sembunyi tidak mengerjakan tugas, hingga menggelontorkan orasi kepada pimpinan untuk berefleksi sebelum menurunkan peraturan yang tak pasti.

Dua tahun, yang tidak lama kemudian tinggal tersisa enam bulan. Kami pun tiba pada momen untuk menghadapi ujian akhir. Tidak hanya satu, tetapi serangkaian. Tetapi ada satu kekuatan yang membuat kami mampu melalui semua itu. Doa Bersama. Tidak cukup hanya berdoa, karena berdoa sendiri-sendiri adalah berdoa untuk masing-masing pribadi. Juga demikian, tidak cukup bersama-sama, larut dalam kebersamaan, tanpa adanya doa. Doa bersama, tidak hanya mendoakan aku sebagai pribadi, tetapi juga turut mendoakan sahabat-sahabatku dalam komunitas ini

Ada sebuah tradisi yang sangat aku ingat. Sesaat sebelum bel masuk ujian nasional, kami berkumpul, menyatukan tangan kami, seturut menyatukan doa dan permohonan kami, untuk menghadapi ujian akhir ini. YA, UJIAN AKHIR YANG TERAKHIR: MEMPERTAHANKAN KEJUJURAN.
Hanya satu doa kami, "Mampukan kami untuk melaluinya dengan kejujuran sesuai dengan usaha kami masing-masing".
Hingga akhirnya, kami mampu melewati tiga hari itu, walaupun dengan segala peluh dan perjuangan, dengan meneriakkan keberhasilan dengan kejujuran
Tetapi tidak akan pernah ada yang lebih bisa membuatku bangga, selain menjadi bagian dari komunitas ini.

Tidak terasa, waktu cepat berlalu. Kami sudah siap, menjadi pribadi-pribadi dewasa yang haus untuk memperjuangkan mimpi-mimpi yang telah ditata di masa SMA. Lima belas dari kami siap untuk melanglang buana, melanjutkan mimpi-mimpi mereka diluar bumi pertiwi ini. USA, Belanda, Inggris, Jepang, Australia, Singapura, Dubai, menjadi patok-patok baru yang siap ditanam untuk terus mengukirkan semangat kebersamaan ini. Sementara itu, empat belas dari kami siap mengukir prestasi baru di perguruan tinggi negeri di tanah air, dan sisanya di perguruan tinggi swasta di Indonesia.

Dua armada masa depan telah dilepas melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ya, 3 Agustus 2015, armada pertama dilepas menuju Melbourne atas nama Adrian Surya. Dia akan melanjutkan studi di Melbourne University. Armada kedua dilepas tepat hari ini, 4 Agustus 2015 menuju United States of America atas nama Yosef Martin Pradipta yang akan melanjutkan studi di Indiana University. Masih akan ada lebih banyak momen perpisahan yang harus kami hadapi.

Perpisahan, selalu menjadi momen pahit yang tak mudah untuk dilupakan. Tetapi obat paling manjur adalah pil terpahit, bukan? Melepas kawan-kawan seperjuangan untuk masa depan. Semoga kita bisa terus berkarya, saling mengukir kesuksesan hingga suatu saat nanti, dengan bangga, kita bisa dentumkan diri kita sebagai bagian dari SOSIAL 15 Kolese Kanisius, Jakarta.

Ite Inflammate Omnia!