Bisakah engkau percaya pada mimpi? Jika rintik hujan tak lagi memberikan kesegaran pada alam semesta. Bisakah engkau menggantungkan mimpi pada titik tertinggi? Jika langit pun tak pernah mampu kita raih.
Hidup adalah setitik noktah ditengah hamparan kertas putih. Kesendirian dan kesunyian adalah sebuah elegi kehidupan yang paling nyata. Kegagalan adalah pedih yang tak ternilai sakitnya. Kebangkitan hanyalah utopia yang entah kapan mampu diraih tanpa adanya sebuah penopang.
Aku duduk bersimpuh di tengah padang pasir nan gersang. Aku bertelut di tengah dinginnya balutan salju Antartika. Aku tenggelam dalam kejamnya Laut Pasifik. Aku melihat rajawali terbang tinggi diatas kepalaku dengan mataku sendiri.
Di dalam temaramnya sudut kota, aku hanya melihat gumpalan lumpur yang menetes dari pelimbahan. Menatap air yang dulu sama-sama mengalir melalui pipa yang sama, yang kini telah menguap menjadi awan, dan aku hanya jatuh dalam saluran pembuangan.
Takdir adalah misteri kehidupan yang penuh dengan tanda tanya.
Pertanyaannya: Kemanakah takdirku?
Minggu, 27 September 2015
Jumat, 18 September 2015
Catatan Tengah Ospek : Sendu di Karawang Timur
Sepi
Perlahan-lahan, sinar surya pun mengintip malu-malu dari ufuk timur dan goresan cakrawala.
Pagi merekah ketika burung-burung mulai mengepakkan sayap-sayapnya diatas hamparan sawah nan megah.
Kesunyian desa pun perlahan terpecah oleh deru sepeda motor yang melintas di jalan setapak nan berbatu.
Aku berdiri di dipan menatap hamparan padi yang mulai menguning sambil berpikir tentang hari itu.
Tetapi hari itu tak lagi sama seperti hari-hari sebelumnya.
Aku hanya bisa pasrah, menerima sambil sekaligus melepas.
Tetapi ini bukanlah anganku, bukan mimpi dan citaku.
Putihnya salju yang membalut kereta peluru itu tak mungkin dapat kuraih lagi saat ini.
Pasrah menerima kenyataan, bersyukur atas segala nikmat adalah dua tembok besar yang membatasi indahnya hidupku.
Tidak Laut Cina Selatan, maupun Laut Jepang yang akan menyambut setiap pagiku.
Juga bukan deretan hanzi ataupun kana yang akan mewarnai lidahku di masa-masa kuliah ini.
Bukan Hong Kong, maupun Jepang yang akan menjadi pijakan hidupku selanjutnya
Aku hanyalah seorang manusia yang terdampar di sebuah lubang takdir.
Aku hanyalah seorang pengelana, pengejar mimpi, meskipun mimpi itu tak kunjung berubah jadi nyata.
Aku, hanyalah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Dan dari Desa Darawolong ini, jiwaku kuhempaskan.
Karawang Timur, 18 September 2015
Perlahan-lahan, sinar surya pun mengintip malu-malu dari ufuk timur dan goresan cakrawala.
Pagi merekah ketika burung-burung mulai mengepakkan sayap-sayapnya diatas hamparan sawah nan megah.
Kesunyian desa pun perlahan terpecah oleh deru sepeda motor yang melintas di jalan setapak nan berbatu.
Aku berdiri di dipan menatap hamparan padi yang mulai menguning sambil berpikir tentang hari itu.
Tetapi hari itu tak lagi sama seperti hari-hari sebelumnya.
Aku hanya bisa pasrah, menerima sambil sekaligus melepas.
Tetapi ini bukanlah anganku, bukan mimpi dan citaku.
Putihnya salju yang membalut kereta peluru itu tak mungkin dapat kuraih lagi saat ini.
Pasrah menerima kenyataan, bersyukur atas segala nikmat adalah dua tembok besar yang membatasi indahnya hidupku.
Tidak Laut Cina Selatan, maupun Laut Jepang yang akan menyambut setiap pagiku.
Juga bukan deretan hanzi ataupun kana yang akan mewarnai lidahku di masa-masa kuliah ini.
Bukan Hong Kong, maupun Jepang yang akan menjadi pijakan hidupku selanjutnya
Aku hanyalah seorang manusia yang terdampar di sebuah lubang takdir.
Aku hanyalah seorang pengelana, pengejar mimpi, meskipun mimpi itu tak kunjung berubah jadi nyata.
Aku, hanyalah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Dan dari Desa Darawolong ini, jiwaku kuhempaskan.
Karawang Timur, 18 September 2015
Langganan:
Postingan (Atom)