Lahir dan dilepas dari sebuah proses pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran bukanlah hal yang mudah. Dahulu, aku berjuang untuk mempertahankan kejujuran di lingkungan yang sangat mendukung hal yang sama. Pada masa itu, aku, bersama dengan ratusan rekan sejawat sama-sama memperjuangkan satu nilai yang masih tertanam dalam diriku hingga kini, "Be Honest!". Ya, aku sempat mencicipi pendidikan ala Ignasian di sebuah kolese Jesuit bernama Kolese Kanisius selama enam tahun. Selama enam tahun inilah aku semakin menyadari bahwa memperjuangkan kejujuran adalah hal yang tidak mudah.
Lulus dari Kolese Kanisius, aku menapaki langkah pendidikan berikutnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, yang merupakan salah satu kampus paling bergengsi di tanah air. Satu hal yang dapat kubanggakan saat hari pertama masa orientasi, adalah bahwa kampus ini juga menjunjung tinggi nilai kejujuran. Meskipun sanksi yang diberikan tidak sekeras sanksi pada masa SMA dulu, tetapi tetap saja ini menjadi bukti bahwa kejujuran adalah hal yang sudah disadari penting oleh kampus ini.
Aku bukan malaikat, apalagi dewa yang bisa seratus persen selalu bersikap jujur dalam setiap pikiran dan tindakan. Tetapi proses berjibaku selama enam tahun silam membuatku memiliki batasan-batasan perihal kejujuran yang tidak bisa ditoleransi. Tetapi untuk kasus menyontek, aku tidak bisa menerimanya. Menyontek adalah tindakan diluar batas. Menyontek adalah tindakan mencuri, mencuri buah pikir orang lain. Menyontek adalah tindakan mengklaim isi pikiran orang lain menjadi milik kita. Menyontek sama buruknya dengan plagiarisme. Menyontek adalah bibit menjadi calon koruptor. Aku teringat akan sebuah slogan yang kubaca beberapa waktu lalu dimading Fakultas Hukum Universitas Indonesia, "Muda plagiator skripsi, tua hobi korupsi". Menyontek dan plagiarisme adalah dua hal tercela yang tidak boleh dilakukan oleh seorang mahasiswa.
Tetapi, idealisme selalu berbenturan dengan realita yang ada. Pada satu momen yang sama, yaitu Ujian Akhir Semester, kulihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa kejujuran seolah terinjak-injak. Dua mata ujian yang dilaksanakan yaitu Pengantar Bisnis dan Lab Bahasa Inggris, seolah tiada maknanya lagi. Nilai hanya menjadi tipu belaka. Kompetensi manusia tak lagi bisa dinilai dengan angka. Karena kejujuran seolah luruh dalam sekejap mata.
Aku memang bukan orang yang seratus persen jujur dan/atau seratus persen benar. Tetapi ada batasan-batasan moral yang seharusnya mampu dipahami oleh segenap mahasiswa, yang katanya merupakan mahasiswa-mahasiswa terbaik dari kampus terbaik di Indonesia. Ketika nilai angka akademik menjadi sesuatu yang dimahakuasakan, maka seketika itu juga bangsa Indonesia akan jatuh, terkubur sampai lubang terdalam karena Ia tak bisa lagi mengandalkan pemuda-pemudinya.
Semoga pengalaman ini bisa menjadi refleksi bersama, khususnya bagi seluruh mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di kampus-kampus ternama, agar menyadari bahwa nilai akademis bukanlah segalanya, melainkan nilai kehidupan adalah hal yang lebih pantas untuk diperjuangkan.
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
"BE HONEST!"
Senin, 25 Januari 2016
Senin, 18 Januari 2016
Catatan Tengah Liburan : Sajak untuk Yang Tak Pernah Tergapai
Hidup adalah sebuah memorabilia
Mereka yang penuh dengan kenangan dan harapan
Seorang yang selalu duduk disudut ruang itu untuk bertanya
"Apakah aku masih ada dihatimu?"
Bait-bait ini akan penuh dengan segala ke-"aku"-an
Aku yang selalu tidur dalam buaian wajahmu
Aku yang terus bertahan dalam segala memori yang kita buat
Tanpa pernah tahu kenyataan yang ada dalam hatimu
Tetapi, sekedar kata "sayang" yang terucap sama tidak bergunanya dengan tindakan nyata tanpa tanda-tanda
Apakah aku harus menjadi seorang idiot?
Apakah aku harus menjadi seorang jenius?
Apakah aku harus menjadi idiot dan jenius sekaligus?
Atau tidak keduanya?
Aku tetap tidak bisa menggapai bintang itu
Dan aku tidak pernah berharap untuk melepas segala imaji tentangnya
Terinspirasi oleh film:
"Crazy Little Thing Called Love" dan "You Are The Apple of My Eye"
Mereka yang penuh dengan kenangan dan harapan
Seorang yang selalu duduk disudut ruang itu untuk bertanya
"Apakah aku masih ada dihatimu?"
Bait-bait ini akan penuh dengan segala ke-"aku"-an
Aku yang selalu tidur dalam buaian wajahmu
Aku yang terus bertahan dalam segala memori yang kita buat
Tanpa pernah tahu kenyataan yang ada dalam hatimu
Tetapi, sekedar kata "sayang" yang terucap sama tidak bergunanya dengan tindakan nyata tanpa tanda-tanda
Apakah aku harus menjadi seorang idiot?
Apakah aku harus menjadi seorang jenius?
Apakah aku harus menjadi idiot dan jenius sekaligus?
Atau tidak keduanya?
Aku tetap tidak bisa menggapai bintang itu
Dan aku tidak pernah berharap untuk melepas segala imaji tentangnya
Terinspirasi oleh film:
"Crazy Little Thing Called Love" dan "You Are The Apple of My Eye"
Minggu, 03 Januari 2016
Catatan Awal Tahun: Rintik Hujan Pertama di Januari
Hujan selalu menyisakan sebuah rasa yang esensial: sendu. Kesenduanku kembali muncul ketika tetesan itu jatuh ke ubun-ubunku. Tetesan yang sama yang kurasakan ribuan kali, bahkan jutaan. Sendu menjadi rasa yang utama, yang kembali mewarnai hari-hariku belakangan ini. Bukan tanpa alasan, tetapi juga dengan alasan yang penuh keabu-abuan.
Ahh...., semua tampak abu-abu bagiku.
Dia...
Wanita kesekian yang kembali membuatku kelu. Mengapa aku terlalu mudah menjatuhkan hati kepada seseorang? Hanya sesak yang terus berlabuh dalam pencampakkan ini.
Dia...
Wanita yang kembali merasuki relung hatiku tanpa pernah kuminta. Rasa ini hanya mengalir memasuki lubuk hatiku tanpa pernah kutahu cara untuk membuka kran pembuangan rasa. Menumpuk, membanjiri, hingga aku pun tenggelam dalam sebuah ironi.
Aku adalah seorang pengelana cinta yang tak pernah bisa menggapai barangkali seorang kekasih pun.
Diam seribu bahasa
Mencoba lari, lari dari kenyataan pahitnya kisah ini
Dan aku hanya berlari memutari dirimu yang tak pernah bisa sirna
Jakarta, 3 Januari 2016
Tertanda,
Yang Terlupakan
Ahh...., semua tampak abu-abu bagiku.
Dia...
Wanita kesekian yang kembali membuatku kelu. Mengapa aku terlalu mudah menjatuhkan hati kepada seseorang? Hanya sesak yang terus berlabuh dalam pencampakkan ini.
Dia...
Wanita yang kembali merasuki relung hatiku tanpa pernah kuminta. Rasa ini hanya mengalir memasuki lubuk hatiku tanpa pernah kutahu cara untuk membuka kran pembuangan rasa. Menumpuk, membanjiri, hingga aku pun tenggelam dalam sebuah ironi.
Aku adalah seorang pengelana cinta yang tak pernah bisa menggapai barangkali seorang kekasih pun.
Diam seribu bahasa
Mencoba lari, lari dari kenyataan pahitnya kisah ini
Dan aku hanya berlari memutari dirimu yang tak pernah bisa sirna
Jakarta, 3 Januari 2016
Tertanda,
Yang Terlupakan
Langganan:
Postingan (Atom)