Kamis, 12 November 2015

Catatan Tengah Kuliah: Secercah Ide dari Sudut Ruang Kosong


“Hidup untuk nilai?”, atau “Nilai untuk hidup?”

Dua frasa ini menjadi landasan bagi kita untuk berefleksi tentang esensi kehidupan perkuliahan kita di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini. Sudah saatnya bagi kita semua, mahasiswa, sebagai ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia ini dalam mempertahankan kemerdekaan untuk menilik kembali dan bertanya kembali, “Mengapa aku harus berada di kampus ini?”.

Tepat lima puluh enam tahun silam, seorang pemuda, manusia garda depan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan ini, dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, memasuki babak baru dalam menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia , kampus perjuangan yang hingga detik ini menjadi wadah penggodokkan kita semua. Sutomo, atau lebih populer dengan sebutan Bung Tomo, sang tokoh dibalik peristiwa 10 November 1945 ini ternyata pernah mengenyam pendidikan dari wadah yang sama, seperti yang saat ini kita rasakan.

Lantas, apa yang menjadi penekanan bagi kita semua sehingga kita perlu belajar banyak dari beliau? Bung Tomo adalah sosok yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang sekadar nilai atau IPK belaka. Tidak bisa kita pungkiri bahwa pengalaman beliau puluhan tahun dalam mempertahankan kemerdekaan serta torehan prestasi beliau di berbagai bidang sudah lebih dari cukup daripada sekedar gelar sarjana semata. Tetapi ada satu poin penting yang pantas kita teladani dari kisah kehidupan Bung Tomo, bahwa beliau menuntut ilmu, untuk dibagikan kepada orang lain. Beliau menempatkan ilmu pengetahuan, sebagai material utama untuk membagikan inspirasi kepada kaum muda. Misalnya saja, dalam masa perkuliahan di FE UI, beliau sangat aktif dalam memberikan ceramah perjuangan kepada para siswa SMA, salah satunya di SMAN 3 Jakarta pada tahun 1966.

 Setiap niat yang baik, pasti akan menuntut pengorbanan. Semakin besar niatan baik tersebut, semakin besar pula pengorbanan yang harus dilakukan. Meskipun seorang Bung Tomo kerap kali mendapat predikat cumlaude pada setiap nilai ujiannya, beliau harus rela memasuki masa prayudisium setelah 22 tahun menyandang status sebagai mahasiswa FE UI. Bahkan, hingga ajal menjemput, toga pun tak sempat tersematkan di kepala sang orator ulung ini. Tetapi dampak yang beliau berikan kepada bangsa ini, bisa jauh lebih berharga ketimbang seorang ekonom yang menyandang gelar doktor, tetapi tidak pernah berkontribusi menyentuh batas kemampuan yang Tuhan anugerahkan kepadanya.

Ada sebuah pergeseran makna yang sudah lazim terjadi di kalangan mahasiswa FEB UI, bahkan seringkali menjadi tren tersendiri, bahwa IPK tinggi adalah segala-galanya sehingga sebagai mahasiswa, kita sering lupa bahwa peran kita adalah ujung tombak pembangunan bangsa. Bagaimana mungkin kita bisa membangun bangsa dan mempertahankan kemerdekaan, jika kita tidak pernah punya kepedulian terhadap orang lain. Bagaimana mungkin kita bisa berbagi pengetahuan kepada ribuan anak jalanan yang terdampar di bawah kolong-kolong jembatan, atau di bantaran sungai, jika kawan kita, sesama mahasiswa, sendiri pun tidak pernah kita bantu. Atau bahkan, kita cenderung egois, menyimpan ilmu untuk diri kita semata. Mengubur talenta yang Tuhan miliki tanpa pernah menjadikannya berarti untuk orang lain? Apa esensinya kita berhasil memasuki salah satu fakultas ekonomi terbaik di Indonesia, tanpa pernah memahami esensi dan nilai guna dari ilmu yang kita peroleh, bahwa ilmu yang kita terima adalah bukan untuk diri kita sendiri, tetapi menjadi modal untuk memberikan impact positif bagi lingkungan sekitar kita?

Apakah tulisan ini adalah sebuah gugatan bahwa mahasiswa FEB UI bersikap seperti apa yang dipaparkan diatas? Bukan, tulisan ini menjadi sebuah refleksi bersama, sebuah correctio fraterna atas kehidupan lebih dari separuh semester yang kita alami di periode 2015/2016 ini. Apalagi, belum genap seminggu kita memperingati hari pahlawan. Oleh karena itu, sudah layak dan sepantasnya kita mulai bertanya kembali kedalam hati kita, membulatkan tekad kita, sebenarnya, untuk apa aku berada di kampus ini.

Untuk berjuang? Atau untuk menelantarkan perjuangan itu sendiri?

Sumber: 
TEMPO, 9-15 November 2015 Edisi Khusus Hari Pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar