Ah, aku terduduk di sebuah ruangan berukuran 3x3 meter, menatap jendela penuh kekosongan.
----
Andai, ah, andai aku tak pernah mengenalnya.
Andai saat itu, aku beranjak, tak peduli.
Aku bingung
Aku terdiam
Kenapa harus orang itu?
Kenapa harus sebuah entitas yang bahkan belum jelas posisinya
Mengapa harus dimalam itu
Ketika gulungan deadline menanti hingga fajar menyingsing
-----
Aku kembali tenggelam kedalam perasaan yang sama, teringat kembali pengalaman itu
Kenapa kita harus bertemu
Kenapa kita harus berbagi cerita, suka duka, kita bagi bersama
Kenapa aku harus menanggung segala pengalaman indah dan pahit itu
Dan yang terdalam, kenapa waktu seolah dengan kejamnya memisahkan kita
Ah, apakah engkau egois?
Atau akulah yang sebenarnya egois menyebut dirimu egois?
Aku masih tak mengerti, kenapa harus muncul bayang-bayangmu, bukan yang lain?
-----
Aku pun masih terdiam, duduk sendiri, meratapi, tanpa pernah memahami
Selasa, 26 April 2016
Senin, 18 April 2016
Kala Senja
Kala senja, menampik mentari dari pentahtaannya
Aku tepekur diujung koridor itu
Menatap kosong rasa yang tak kunjung padam
Kala senja, mengubah terang menjadi gulita
Dan burung gereja mulai menyanyikan senandung rindu
Aku terjerembab dalam rasa yang tak kunjung pudar
Kala senja, menjadi transisi siang menjadi malam
Dan angin berhembus, menyibak gerai rambutmu yang indah
Aku hanya bisa memandangnya dari sudut dan kejauhan
Kala senja, perahu mulai kembali dari pengarungannya
Dan sinar mentari memantulkan pribadimu yang istimewa
Tanpa keraguan, aku memandangnya dan hanya termenung
Kala senja, dan kala usiaku senja nantinya
Kala aku duduk tafakur menanti datangnya tumpangan satu arah
Jangan biarkan hatiku tertambat dan tergantung sesal dibawah derai tawamu
Untukmu, yang masih indah dalam kesunyian, cantik dalam pencampakkan hati
Dariku yang tak pernah surut menanti datangnya janji manis itu
Aku tepekur diujung koridor itu
Menatap kosong rasa yang tak kunjung padam
Kala senja, mengubah terang menjadi gulita
Dan burung gereja mulai menyanyikan senandung rindu
Aku terjerembab dalam rasa yang tak kunjung pudar
Kala senja, menjadi transisi siang menjadi malam
Dan angin berhembus, menyibak gerai rambutmu yang indah
Aku hanya bisa memandangnya dari sudut dan kejauhan
Kala senja, perahu mulai kembali dari pengarungannya
Dan sinar mentari memantulkan pribadimu yang istimewa
Tanpa keraguan, aku memandangnya dan hanya termenung
Kala senja, dan kala usiaku senja nantinya
Kala aku duduk tafakur menanti datangnya tumpangan satu arah
Jangan biarkan hatiku tertambat dan tergantung sesal dibawah derai tawamu
Untukmu, yang masih indah dalam kesunyian, cantik dalam pencampakkan hati
Dariku yang tak pernah surut menanti datangnya janji manis itu
Minggu, 10 April 2016
Tanya Kepada Awan
Aku duduk tersudut di sebuah ruang kosong tanpa atap
Sendiri, menyepi
Kembali lorong waktu itu menjadi sebuah teka-teki tak terpecahkan
Masa lalu, kini, dan masa depan
Semua masih menjadi misteri
Terkadang, aku iri kepada awan
Awan yang mengarak dengan gagahnya di langit
Putih, tetapi menciptakan sebuah eksotisme gradasi yang indahnya tak terperi
Putih, tetapi dari putih itulah indahnya langit sore yang jingga nan elok terlukis
Bebas bergerak tanpa pernah perlu kuatir mau kemana ia pergi
Aku iri kepada awan
Yang enggan menengok kebawah
Kutanya padanya, "Apakah engkau meng-indahkan dunia yang ada dibawahmu?"
Aku kembali pada kenyataan di ruang kosong itu
Bahwa aku, hanyalah manusia yang dibatasi oleh tembok-tembok keji
Tembok-tembok ketidakadilan, kemunafikan, pengkhianatan
Tanpa palu atau mesin bor, tanpa tenaga dan buldoser
Ya, aku baru teringat, aku dan awan
Dua entitas identik, namun dengan kenyataan yang berbeda
---------------------------------------------------------------------------------
Ketika idealisme bertabrakan dengan realita
Ketika itulah pertanyaan "quo vadis hidup ini?" mulai muncul
Dan ketika itulah, diam menjadi sebuah harta yang paling berharga
Sendiri, menyepi
Kembali lorong waktu itu menjadi sebuah teka-teki tak terpecahkan
Masa lalu, kini, dan masa depan
Semua masih menjadi misteri
Terkadang, aku iri kepada awan
Awan yang mengarak dengan gagahnya di langit
Putih, tetapi menciptakan sebuah eksotisme gradasi yang indahnya tak terperi
Putih, tetapi dari putih itulah indahnya langit sore yang jingga nan elok terlukis
Bebas bergerak tanpa pernah perlu kuatir mau kemana ia pergi
Aku iri kepada awan
Yang enggan menengok kebawah
Kutanya padanya, "Apakah engkau meng-indahkan dunia yang ada dibawahmu?"
Aku kembali pada kenyataan di ruang kosong itu
Bahwa aku, hanyalah manusia yang dibatasi oleh tembok-tembok keji
Tembok-tembok ketidakadilan, kemunafikan, pengkhianatan
Tanpa palu atau mesin bor, tanpa tenaga dan buldoser
Ya, aku baru teringat, aku dan awan
Dua entitas identik, namun dengan kenyataan yang berbeda
---------------------------------------------------------------------------------
Ketika idealisme bertabrakan dengan realita
Ketika itulah pertanyaan "quo vadis hidup ini?" mulai muncul
Dan ketika itulah, diam menjadi sebuah harta yang paling berharga
Langganan:
Postingan (Atom)