Aku duduk tersudut di sebuah ruang kosong tanpa atap
Sendiri, menyepi
Kembali lorong waktu itu menjadi sebuah teka-teki tak terpecahkan
Masa lalu, kini, dan masa depan
Semua masih menjadi misteri
Terkadang, aku iri kepada awan
Awan yang mengarak dengan gagahnya di langit
Putih, tetapi menciptakan sebuah eksotisme gradasi yang indahnya tak terperi
Putih, tetapi dari putih itulah indahnya langit sore yang jingga nan elok terlukis
Bebas bergerak tanpa pernah perlu kuatir mau kemana ia pergi
Aku iri kepada awan
Yang enggan menengok kebawah
Kutanya padanya, "Apakah engkau meng-indahkan dunia yang ada dibawahmu?"
Aku kembali pada kenyataan di ruang kosong itu
Bahwa aku, hanyalah manusia yang dibatasi oleh tembok-tembok keji
Tembok-tembok ketidakadilan, kemunafikan, pengkhianatan
Tanpa palu atau mesin bor, tanpa tenaga dan buldoser
Ya, aku baru teringat, aku dan awan
Dua entitas identik, namun dengan kenyataan yang berbeda
---------------------------------------------------------------------------------
Ketika idealisme bertabrakan dengan realita
Ketika itulah pertanyaan "quo vadis hidup ini?" mulai muncul
Dan ketika itulah, diam menjadi sebuah harta yang paling berharga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar