Take, Lord, and receive all my liberty,
my memory, my understanding,
and my entire will,
All I have and call my own.
my memory, my understanding,
and my entire will,
All I have and call my own.
You have given all to me.
To you, Lord, I return it.
To you, Lord, I return it.
Everything is yours; do with it what you will.
Give me only your love and your grace,
that is enough for me.
Give me only your love and your grace,
that is enough for me.
-Spiritual Exercise 234, St. Ignatius de Loyola-
Manusia, ya hari ini aku ingin bicara lagi tentang manusia. Manusia yang dikaruniai kebijaksanaan, sekaligus kecerobohan agar ia bisa belajar dari kecerobohannya untuk menjadi bijaksana. Bicara tentang manusia, kita selalu memiliki dua komponen yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, idealisme dan pandangan realistis. Ketika menelaah tentang manusia, kita juga tidak pernah bisa lepas dari hati nurani yang sejatinya tertanam didalam jiwa dan menjadi inti manusia yang paling sederhana. Bicara tentang manusia dan sekitarnya, tak bisa juga lepas dari nilai moral yang selalu menjadi napas kehidupan dalam membangun relasi.
Kembali ke persoalan idealisme, serta pandangan realistis. Sejatinya manusia lahir memiliki akal budi dan pikiran. Itulah yang menuntun setiap kehendak dan perbuatannya. Itulah juga yang menuntunnya untuk menemukan inspirasi dari setiap peristiwa yang ditemui sang manusia. Proses dalam kehidupan mengolah manusia menjadi entitas yang memiliki pondasi, entah kuat atau tidak. Perlahan namun pasti, pandangan-pandangan manusia atas energi yang ada di sekitarnya mulai terbentuk, entah tajam atau tidak. Namun pada akhirnya, yang kuat dengan yang lemah akan bertubrukan, begitupula yang tajam dengan yang tumpul. Inilah, ketika idealisme bertubrukan dengan realita.
Kasus yang cukup sederhana. Seorang mahasiswa baru yang dalam masa orientasi selalu ditekankan perihal kejujuran. "Fakultas ini sangat tidak mentolerir tindakan curang sekecil apapun." Setidaknya itulah yang diserukan oleh Sang Orator saat pertama kali ia menginjakkan kaki di lingkungan barunya. Namun, seiring waktu berputar, dan tahun berganti, idealisme kejujuran yang dipegang teguh oleh sang mahasiswa luruh oleh kemudahan praktis yang dicekoki minimal dua kali dalam satu semester, hingga akhirnya nilai kejujuran itu seutuhnya runtuh ketika dirinya didaulat sebagai plagiator skripsi.
Ya, memang sederhana, dan tidak bisa digeneralisasi bahwa idealisme akan semudah itu luruh. Ada banyak contoh orang-orang sukses yang dalam hidupnya selalu bertekun memperjuangkan nilai-nilai moral individu yang positif. Tetapi, lebih banyak lagi yang jatuh dan terjerembab dalam iming-iming "kemudahan" ataupun "jalan pintas". Sederhana saja, bonum vivendum malum evitandum. Apa yang menurutKU benar, lakukan. Dan jangan lakukan apa yang KUanggap salah. KU-(dengan mempertimbangkan moral dan hasil olah rasa dan hati nurani).
Tetapi, kembali lagi ke titik awal manusia ketika ia berjuang untuk idealisme-idealismenya. Hal terpenting yang harus dimiliki oleh manusia adalah hati nurani. Hati nurani akan membawa manusia untuk menemukan self-consciousness nya. Seringkali kita sebagai individu bertanya-tanya kepada diri kita dan kepada Tuhan, "Quo vadis?". Mau dibawa kemana hidupku ini? Tetapi ternyata, jawaban itu muncul didalam suara hati ketika, ketika kita bisa menemukan Tuhan dalam segala tindak-tanduk sederhana. Non multa sed multum. Bukan dari seberapa banyak kita berhasil "menemukan" Tuhan dalam setiap peristiwa yang dialami, tetapi seberapa dalam pemaknaan akan kehadiran Tuhan dari suatu peristiwa tersebut.
Proses memaknai kehadiran Tuhan bukanlah seperti proses memasak mie instan. Penulis pun masih dalam proses panjang pemaknaan hidup dan pencarian jati dirinya. Didalam hatinya, selalu muncul pertanyaan, setiap waktu, dimanapun, "Quo vadis?". Sehingga, dalam proses pencarian akan makna hidup, dan mau dibawa kemana hidup ini, setiap manusia hanya bisa berserah dan percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sarana, sarana manusia untuk belajar menemukan Sang Hyang Widhi. Serta pada akhirnya, setiap manusia bisa menemukan inti dari perjalanan akhir kehidupan, yaitu kembali kepadaNya untuk memuji dan memuliakanNya sepanjang perjalanan pencarian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar