Sore itu aku sedang duduk di ruangan yang menjadi lokasi terindah bagiku untuk menikmati suatu sore yang tak begitu terik dengan semilir angin sepoi-sepoi. Di teras ruangan itu, ada tiga buah bangku panjang untuk bersantai lengkap dengan sebuah meja panjang untuk melengkapinya. Mungkin, sore hari itu sama seperti sore di hari-hari yang lain ketika sang surya perlahan mulai malu-malu untuk menunjukkan pancaran sinarnya. Tetapi khusus pada hari itu, pikiranku melayang tak terkendali, merasuk ke dalam titik nadir terdalam, hingga aku pun merinding akan kerinduan yang tak terperi.
Ruang KUKSA FEB UI menjadi saksi, dan sebuah arena perhelatanku. Bukan aku dengan seorang manusia lain, melainkan aku yang bergulat dengan pikiranku serta hatiku yang tersegmentasi menjadi dua sisi yang berlainan. Sisi yang satu menyatakan bahwa aku harus fokus dengan realita yang aku hadapi, yaitu aku adalah seorang mahasiswa FEB UI yang setiap harinya harus dihadapkan dengan pelbagai tugas dari dosen hingga rapat-rapat kepanitiaan yang semuanya cukup menguras energi. Ditambah lagi bahwa dalam waktu dekat aku akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Tetapi ada sisi lain diriku yang terus meronta-ronta, memintaku untuk melepaskan dirinya yang sudah tak tahan dengan kerinduan ini. Ya, aku terserang rindu. Rindu akan seorang sahabat yang baru berpisah dariku kurang lebih lima bulan yang lalu. Aku hanyalah setetes tinta tanpa pena. Seonggok es batu tanpa minuman yang dapat kusegarkan. Memang, tiada pertemuan tanpa perpisahan, tetapi berpisah dan sekedar mengucapkan "Goodbye, see you on top" tidak pernah semudah membalik telapak tangan. Kami ditempa dalam kuali yang sama, berproses, membentuk idealisme kami masing-masing. Tetapi rasa-rasanya, baru kemarin kulihat senyum di wajahmu. Baru kemarin, aku mendengar racapanmu, guraumu, tawamu, amarahmu, hingga pesan perpisahanmu yang kuterima dengan selapang-lapangnya. Tetapi kini, rindu itu kembali berlompatan ditengah gurau dan tawa yang kulontarkan setiap hari kepada kawan-kawan baru. Satu hal yang pasti, aku masih rindu akan keberadaanmu.
Mentari mulai menyusut masuk di ufuk barat. Tak terasa, rintik hujan pertama jatuh dari kelabunya langit sore itu. Satu titik, dua titik, lima titik, puluhan, ratusan, hingga tak terhitung jumlahnya karena gerimis telah bertransformasi menjadi badai. Hatiku kembali berkecamuk. Hujan memang memberikan sensasi tersendiri bagi orang-orang yang melankolis. Tiba-tiba, seorang wanita yang telah lama kukenal menyambangi tempatku duduk menikmati sore yang sendu itu. Wajahnya tampak lelah, dengan terburu-buru, ia melepas sepatu dan masuk ke ruangan. Ada sebuah asa dan harapan yang tergores jelas di wajahnya. Ada mimpi-mimpi yang sedang berusaha ia gapai. Tiba-tiba, hatiku kembali bergelora akibat tatapan wajahnya yang begitu tajam. Ada rasa, ada sebuah keinginan bagiku untuk masuk ke dalam kesulitan-kesulitan terdalam hidupnya. Aku ingin menjadi garam di tengah tawar kehidupannya, aku ingin menjadi pelita pada titik-titik tergelap dalam hidupnya. Tetapi aku adalah aku, pria yang bahkan tidak pernah punya kemampuan untuk menyapa dirinya lebih dalam. Aku adalah butiran debu dalam kerasnya perhelatan asmara...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSapa lah gadis itu. Siapa tahu, dia ingin mencicipi setitik rasa yang ingin kamu beri. Ku tunggu kisahmu dengannya di blog selanjutnya. Semangat kak le!
BalasHapus