Jumat, 03 Maret 2017

Aku Ingin Jadi Sahabatmu

Ah, manusia memang layaknya entitas yang tidak pernah dapat diprediksi
Aku terkadang bingung, terombang-ambing oleh keadaan
Terluntang-lantung oleh ketidakpastian akan nasib dan kehidupan
Senang serta sedih, silih berganti

Ah, aku tidak tahu mengapa, mengapa seorang sahabat selalu datang dan pergi
Enam tahun, berusaha menyerap apa artinya persaudaraan dalam persahabatan
Membekas, tanpa ada yang tersisa. Aku selalu mencoba terbuka, memberikan apa yang selayaknya dan sepantasnya aku berikan

Ah, Sahabat, sedihku takkan berujung
Mungkin benar aku terlalu peminta
Mungkin benar aku tak pernah layak menjadi sahabatmu
Atau memang, dunia ini takkan pernah mengijinkan aku tuk jadi sahabatmu

Aku hanya ingin menjadi sahabatmu...

Senin, 06 Juni 2016

Tentang Manusia (2)

Take, Lord, and receive all my liberty,
my memory, my understanding,
and my entire will,
All I have and call my own.
You have given all to me.
To you, Lord, I return it.
Everything is yours; do with it what you will.
Give me only your love and your grace,
that is enough for me.

-Spiritual Exercise 234, St. Ignatius de Loyola-



Manusia, ya hari ini aku ingin bicara lagi tentang manusia. Manusia yang dikaruniai kebijaksanaan, sekaligus kecerobohan agar ia bisa belajar dari kecerobohannya untuk menjadi bijaksana. Bicara tentang manusia, kita selalu memiliki dua komponen yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, idealisme dan pandangan realistis. Ketika menelaah tentang manusia, kita juga tidak pernah bisa lepas dari hati nurani yang sejatinya tertanam didalam jiwa dan menjadi inti manusia yang paling sederhana. Bicara tentang manusia dan sekitarnya, tak bisa juga lepas dari nilai moral yang selalu menjadi napas kehidupan dalam membangun relasi. 

Kembali ke persoalan idealisme, serta pandangan realistis. Sejatinya manusia lahir memiliki akal budi dan pikiran. Itulah yang menuntun setiap kehendak dan perbuatannya. Itulah juga yang menuntunnya untuk menemukan inspirasi dari setiap peristiwa yang ditemui sang manusia. Proses dalam kehidupan mengolah manusia menjadi entitas yang memiliki pondasi, entah kuat atau tidak. Perlahan namun pasti, pandangan-pandangan manusia atas energi yang ada di sekitarnya mulai terbentuk, entah tajam atau tidak. Namun pada akhirnya, yang kuat dengan yang lemah akan bertubrukan, begitupula yang tajam dengan yang tumpul. Inilah, ketika idealisme bertubrukan dengan realita. 

Kasus yang cukup sederhana. Seorang mahasiswa baru yang dalam masa orientasi selalu ditekankan perihal kejujuran. "Fakultas ini sangat tidak mentolerir tindakan curang sekecil apapun." Setidaknya itulah yang diserukan oleh Sang Orator saat pertama kali ia menginjakkan kaki di lingkungan barunya. Namun, seiring waktu berputar, dan tahun berganti, idealisme kejujuran yang dipegang teguh oleh sang mahasiswa luruh oleh kemudahan praktis yang dicekoki minimal dua kali dalam satu semester, hingga akhirnya nilai kejujuran itu seutuhnya runtuh ketika dirinya didaulat sebagai plagiator skripsi. 

Ya, memang sederhana, dan tidak bisa digeneralisasi bahwa idealisme akan semudah itu luruh. Ada banyak contoh orang-orang sukses yang dalam hidupnya selalu bertekun memperjuangkan nilai-nilai moral individu yang positif. Tetapi, lebih banyak lagi yang jatuh dan terjerembab dalam iming-iming "kemudahan" ataupun "jalan pintas". Sederhana saja, bonum vivendum malum evitandum. Apa yang menurutKU benar, lakukan. Dan jangan lakukan apa yang KUanggap salah. KU-(dengan mempertimbangkan moral dan hasil olah rasa dan hati nurani).

Tetapi, kembali lagi ke titik awal manusia ketika ia berjuang untuk idealisme-idealismenya. Hal terpenting yang harus dimiliki oleh manusia adalah hati nurani. Hati nurani akan membawa manusia untuk menemukan self-consciousness nya. Seringkali kita sebagai individu bertanya-tanya kepada diri kita dan kepada Tuhan, "Quo vadis?". Mau dibawa kemana hidupku ini? Tetapi ternyata, jawaban itu muncul didalam suara hati ketika, ketika kita bisa menemukan Tuhan dalam segala tindak-tanduk sederhana. Non multa sed multum. Bukan dari seberapa banyak kita berhasil "menemukan" Tuhan dalam setiap peristiwa yang dialami, tetapi seberapa dalam pemaknaan akan kehadiran Tuhan dari suatu peristiwa tersebut. 

Proses memaknai kehadiran Tuhan bukanlah seperti proses memasak mie instan. Penulis pun masih dalam proses panjang pemaknaan hidup dan pencarian jati dirinya. Didalam hatinya, selalu muncul pertanyaan, setiap waktu, dimanapun, "Quo vadis?". Sehingga, dalam proses pencarian akan makna hidup, dan mau dibawa kemana hidup ini, setiap manusia hanya bisa berserah dan percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sarana, sarana manusia untuk belajar menemukan Sang Hyang Widhi. Serta pada akhirnya, setiap manusia bisa menemukan inti dari perjalanan akhir kehidupan, yaitu kembali kepadaNya untuk memuji dan memuliakanNya sepanjang perjalanan pencarian itu. 

Jumat, 20 Mei 2016

Tentang Manusia (1)


Aku ingin tahu tentang manusia, tentangmu yang tak ingin tahu menahu dunia sekitarmu, tentangmu yang (mungkin) peduli dengan dunia dibalik imajimu.

Perjalananku di dunia yang baru ini diawali dengan sebuah tanda tanya besar tentang manusia. Manusia, apakah itu? Bagaimana rupanya? Apakah menakutkan? Ataukah bersahabat? Apakah aku akan senang berada di dekatnya?

Manusia pertama yang kutemui adalah makhluk yang penuh kharisma. Duduk di bangku sederhana dengan tangan terkatup diatas meja, menunjukkan betapa bijaknya tindak-tanduk dan perilakunya.  Dia adalah seorang pemimpin untuk kaumnya yang juga luar biasa. Banyak pengikut, dan tidak sedikit juga yang meminta petuah darinya. Aku saat itu berpikir, "ah, ada banyak pelajaran yang bisa kudapatkan darinya, ada banyak inspirasi dan cerita, dan juga akan ada banyak proses pertukaran pikiran didalamnya." Namun, aku salah. Manusia lain justru menceritakan kepadaku, betapa bencinya dia dengan hal baru. Betapa murkanya dia melihat ide-ide yang bertentangan dengan ide-ide yang telah ia bangun. Aku pun mundur teratur, menarik diri dari segala kemurkaannya. Aku pun teringat kata-kata seorang manusia yang mengatakan,"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau." Aku pun kembali bertanya-tanya, apakah benar pepatah bahwa Sang Guru adalah Sang Pembelajar? Selesai, aku pergi dan berusaha mencari manusia berikutnya.

Manusia kedua yang kutemui adalah entitas yang penuh humor. Ia sedang duduk bersila di sebuah ruangan sempit dan pengap bersama dengan kawanannya dan bercengkrama.  Aku pun mencoba untuk ikut bergabung dalam bincang-bincang santai sore itu. Namun sayang, aku belum selesai dengan pengamatanku dan waktu pulang telah memanggil. Ya, aku akan melanjutkannya setelah seharmal yang akan kuhadapi nanti sampai pada titik akhir.

Ya, aku seorang pembelajar yang haus akan ilmu, yang percaya bahwa kelas hanyalah penjara yang mengungkungku untuk belajar banyak tentang manusia dan tentang kehidupannya. Aku percaya, bahwa manusia adalah entitas yang paling sempurna dan juga paling tidak sempurna. Dinamika ini kadang membuatku bertanya, "Tidakkah ada mata pelajaran tentang manusia?" Dan pemahaman akannya menjadi pemahaman yang paling sempurna sebagai ilmu yang paling tinggi dan paling mendasar.


Selasa, 26 April 2016

Sendiri

Ah, aku terduduk di sebuah ruangan berukuran 3x3 meter, menatap jendela penuh kekosongan.
----
Andai, ah, andai aku tak pernah mengenalnya.
Andai saat itu, aku beranjak, tak peduli.

Aku bingung
Aku terdiam

Kenapa harus orang itu?
Kenapa harus sebuah entitas yang bahkan belum jelas posisinya

Mengapa harus dimalam itu
Ketika gulungan deadline menanti hingga fajar menyingsing
-----
Aku kembali tenggelam kedalam perasaan yang sama, teringat kembali pengalaman itu
Kenapa kita harus bertemu
Kenapa kita harus berbagi cerita, suka duka, kita bagi bersama
Kenapa aku harus menanggung segala pengalaman indah dan pahit itu
Dan yang terdalam, kenapa waktu seolah dengan kejamnya memisahkan kita

Ah, apakah engkau egois?
Atau akulah yang sebenarnya egois menyebut dirimu egois?
Aku masih tak mengerti, kenapa harus muncul bayang-bayangmu, bukan yang lain?
-----
Aku pun masih terdiam, duduk sendiri, meratapi, tanpa pernah memahami

Senin, 18 April 2016

Kala Senja

Kala senja, menampik mentari dari pentahtaannya
Aku tepekur diujung koridor itu
Menatap kosong rasa yang tak kunjung padam

Kala senja, mengubah terang menjadi gulita
Dan burung gereja mulai menyanyikan senandung rindu
Aku terjerembab dalam rasa yang tak kunjung pudar

Kala senja, menjadi transisi siang menjadi malam
Dan angin berhembus, menyibak gerai rambutmu yang indah
Aku hanya bisa memandangnya dari sudut dan kejauhan

Kala senja, perahu mulai kembali dari pengarungannya
Dan sinar mentari memantulkan pribadimu yang istimewa
Tanpa keraguan, aku memandangnya dan hanya termenung

Kala senja, dan kala usiaku senja nantinya
Kala aku duduk tafakur menanti datangnya tumpangan satu arah
Jangan biarkan hatiku tertambat dan tergantung sesal dibawah derai tawamu

Untukmu, yang masih indah dalam kesunyian, cantik dalam pencampakkan hati
Dariku yang tak pernah surut menanti datangnya janji manis itu


Minggu, 10 April 2016

Tanya Kepada Awan

Aku duduk tersudut di sebuah ruang kosong tanpa atap
Sendiri, menyepi
Kembali lorong waktu itu menjadi sebuah teka-teki tak terpecahkan
Masa lalu, kini, dan masa depan
Semua masih menjadi misteri

Terkadang, aku iri kepada awan
Awan yang mengarak dengan gagahnya di langit
Putih, tetapi menciptakan sebuah eksotisme gradasi yang indahnya tak terperi
Putih, tetapi dari putih itulah indahnya langit sore yang jingga nan elok terlukis
Bebas bergerak tanpa pernah perlu kuatir mau kemana ia pergi

Aku iri kepada awan
Yang enggan menengok kebawah
Kutanya padanya, "Apakah engkau meng-indahkan dunia yang ada dibawahmu?"

Aku kembali pada kenyataan di ruang kosong itu
Bahwa aku, hanyalah manusia yang dibatasi oleh tembok-tembok keji
Tembok-tembok ketidakadilan, kemunafikan, pengkhianatan
Tanpa palu atau mesin bor, tanpa tenaga dan buldoser

Ya, aku baru teringat, aku dan awan
Dua entitas identik, namun dengan kenyataan yang berbeda

---------------------------------------------------------------------------------
Ketika idealisme bertabrakan dengan realita
Ketika itulah pertanyaan "quo vadis hidup ini?" mulai muncul
Dan ketika itulah, diam menjadi sebuah harta yang paling berharga

Minggu, 21 Februari 2016

Catatan Tengah Kuliah: Senja di Tepian Danau

Sebait larik, selintas aku mengingat wajah itu tanpa pernah berharap.

Satu per satu daun mulai berguguran di sisi danau itu
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore
Pikiranku setengah kosong, setengah terisi
Dipinggir danau, kulihat enam orang anak kecil bertubuh ceking sedang asik bermain
Lalu, lelaki tujuh puluh tahun sedang asik memainkan harmonikanya
Ah, sudah mau maghrib, kulangkahkan cepat kedua kakiku ke arah halte bikun Pocin
Tak lama berselang, bikun bernomor delapan itu pun tiba
Aku kembali terenyuh kala meninggalkan keenam anak kecil ceking itu
Bikun pun tiba di stasiun UI, dan aku membeli minuman seharga lima ribu rupiah
Tak lama menunggu, kereta pun tiba dan aku melompat kedalam gerbong kelima

Kisah sederhana sore itu menyisakan arti yang mendalam kala hati sedang sendu.
Kisah sederhana sore itu menjadi mozaik kecil yang melengkapi hidup
Ah, aku hanyalah kerikil, butiran pasir tak berarti dimata dunia

Untuk kisah yang tersimpan didalam angan
Untuk rasa yang tak pernah bisa terungkapkan

11 Kliwon 1949