Senin, 07 Desember 2015

Catatan Pra UAS: Senja yang Sendu di FEB UI

Sore itu aku sedang duduk di ruangan yang menjadi lokasi terindah bagiku untuk menikmati suatu sore yang tak begitu terik dengan semilir angin sepoi-sepoi. Di teras ruangan itu, ada tiga buah bangku panjang untuk bersantai lengkap dengan sebuah meja panjang untuk melengkapinya. Mungkin, sore hari itu sama seperti sore di hari-hari yang lain ketika sang surya perlahan mulai malu-malu untuk menunjukkan pancaran sinarnya. Tetapi khusus pada hari itu, pikiranku melayang tak terkendali, merasuk ke dalam titik nadir terdalam, hingga aku pun merinding akan kerinduan yang tak terperi.

Ruang KUKSA FEB UI menjadi saksi, dan sebuah arena perhelatanku. Bukan aku dengan seorang manusia lain, melainkan aku yang bergulat dengan pikiranku serta hatiku yang tersegmentasi menjadi dua sisi yang berlainan. Sisi yang satu menyatakan bahwa aku harus fokus dengan realita yang aku hadapi, yaitu aku adalah seorang mahasiswa FEB UI yang setiap harinya harus dihadapkan dengan pelbagai tugas dari dosen hingga rapat-rapat kepanitiaan yang semuanya cukup menguras energi. Ditambah lagi bahwa dalam waktu dekat aku akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Tetapi ada sisi lain diriku yang terus meronta-ronta, memintaku untuk melepaskan dirinya yang sudah tak tahan dengan kerinduan ini. Ya, aku terserang rindu. Rindu akan seorang sahabat yang baru berpisah dariku kurang lebih lima bulan yang lalu. Aku hanyalah setetes tinta tanpa pena. Seonggok es batu tanpa minuman yang dapat kusegarkan. Memang, tiada pertemuan tanpa perpisahan, tetapi berpisah dan sekedar mengucapkan "Goodbye, see you on top" tidak pernah semudah membalik telapak tangan. Kami ditempa dalam kuali yang sama, berproses, membentuk idealisme kami masing-masing. Tetapi rasa-rasanya, baru kemarin kulihat senyum di wajahmu. Baru kemarin, aku mendengar racapanmu, guraumu, tawamu, amarahmu, hingga pesan perpisahanmu yang kuterima dengan selapang-lapangnya. Tetapi kini, rindu itu kembali berlompatan ditengah gurau dan tawa yang kulontarkan setiap hari kepada kawan-kawan baru. Satu hal yang pasti, aku masih rindu akan keberadaanmu.

Mentari mulai menyusut masuk di ufuk barat. Tak terasa, rintik hujan pertama jatuh dari kelabunya langit sore itu. Satu titik, dua titik, lima titik, puluhan, ratusan, hingga tak terhitung jumlahnya karena gerimis telah bertransformasi menjadi badai. Hatiku kembali berkecamuk. Hujan memang memberikan sensasi tersendiri bagi orang-orang yang melankolis. Tiba-tiba, seorang wanita yang telah lama kukenal menyambangi tempatku duduk menikmati sore yang sendu itu. Wajahnya tampak lelah, dengan terburu-buru, ia melepas sepatu dan masuk ke ruangan. Ada sebuah asa dan harapan yang tergores jelas di wajahnya. Ada mimpi-mimpi yang sedang berusaha ia gapai. Tiba-tiba, hatiku kembali bergelora akibat tatapan wajahnya yang begitu tajam. Ada rasa, ada sebuah keinginan bagiku untuk masuk ke dalam kesulitan-kesulitan terdalam hidupnya. Aku ingin menjadi garam di tengah tawar kehidupannya, aku ingin menjadi pelita pada titik-titik tergelap dalam hidupnya. Tetapi aku adalah aku, pria yang bahkan tidak pernah punya kemampuan untuk menyapa dirinya lebih dalam. Aku adalah butiran debu dalam kerasnya perhelatan asmara...

Kamis, 12 November 2015

Catatan Tengah Kuliah: Secercah Ide dari Sudut Ruang Kosong


“Hidup untuk nilai?”, atau “Nilai untuk hidup?”

Dua frasa ini menjadi landasan bagi kita untuk berefleksi tentang esensi kehidupan perkuliahan kita di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini. Sudah saatnya bagi kita semua, mahasiswa, sebagai ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia ini dalam mempertahankan kemerdekaan untuk menilik kembali dan bertanya kembali, “Mengapa aku harus berada di kampus ini?”.

Tepat lima puluh enam tahun silam, seorang pemuda, manusia garda depan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan ini, dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, memasuki babak baru dalam menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia , kampus perjuangan yang hingga detik ini menjadi wadah penggodokkan kita semua. Sutomo, atau lebih populer dengan sebutan Bung Tomo, sang tokoh dibalik peristiwa 10 November 1945 ini ternyata pernah mengenyam pendidikan dari wadah yang sama, seperti yang saat ini kita rasakan.

Lantas, apa yang menjadi penekanan bagi kita semua sehingga kita perlu belajar banyak dari beliau? Bung Tomo adalah sosok yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang sekadar nilai atau IPK belaka. Tidak bisa kita pungkiri bahwa pengalaman beliau puluhan tahun dalam mempertahankan kemerdekaan serta torehan prestasi beliau di berbagai bidang sudah lebih dari cukup daripada sekedar gelar sarjana semata. Tetapi ada satu poin penting yang pantas kita teladani dari kisah kehidupan Bung Tomo, bahwa beliau menuntut ilmu, untuk dibagikan kepada orang lain. Beliau menempatkan ilmu pengetahuan, sebagai material utama untuk membagikan inspirasi kepada kaum muda. Misalnya saja, dalam masa perkuliahan di FE UI, beliau sangat aktif dalam memberikan ceramah perjuangan kepada para siswa SMA, salah satunya di SMAN 3 Jakarta pada tahun 1966.

 Setiap niat yang baik, pasti akan menuntut pengorbanan. Semakin besar niatan baik tersebut, semakin besar pula pengorbanan yang harus dilakukan. Meskipun seorang Bung Tomo kerap kali mendapat predikat cumlaude pada setiap nilai ujiannya, beliau harus rela memasuki masa prayudisium setelah 22 tahun menyandang status sebagai mahasiswa FE UI. Bahkan, hingga ajal menjemput, toga pun tak sempat tersematkan di kepala sang orator ulung ini. Tetapi dampak yang beliau berikan kepada bangsa ini, bisa jauh lebih berharga ketimbang seorang ekonom yang menyandang gelar doktor, tetapi tidak pernah berkontribusi menyentuh batas kemampuan yang Tuhan anugerahkan kepadanya.

Ada sebuah pergeseran makna yang sudah lazim terjadi di kalangan mahasiswa FEB UI, bahkan seringkali menjadi tren tersendiri, bahwa IPK tinggi adalah segala-galanya sehingga sebagai mahasiswa, kita sering lupa bahwa peran kita adalah ujung tombak pembangunan bangsa. Bagaimana mungkin kita bisa membangun bangsa dan mempertahankan kemerdekaan, jika kita tidak pernah punya kepedulian terhadap orang lain. Bagaimana mungkin kita bisa berbagi pengetahuan kepada ribuan anak jalanan yang terdampar di bawah kolong-kolong jembatan, atau di bantaran sungai, jika kawan kita, sesama mahasiswa, sendiri pun tidak pernah kita bantu. Atau bahkan, kita cenderung egois, menyimpan ilmu untuk diri kita semata. Mengubur talenta yang Tuhan miliki tanpa pernah menjadikannya berarti untuk orang lain? Apa esensinya kita berhasil memasuki salah satu fakultas ekonomi terbaik di Indonesia, tanpa pernah memahami esensi dan nilai guna dari ilmu yang kita peroleh, bahwa ilmu yang kita terima adalah bukan untuk diri kita sendiri, tetapi menjadi modal untuk memberikan impact positif bagi lingkungan sekitar kita?

Apakah tulisan ini adalah sebuah gugatan bahwa mahasiswa FEB UI bersikap seperti apa yang dipaparkan diatas? Bukan, tulisan ini menjadi sebuah refleksi bersama, sebuah correctio fraterna atas kehidupan lebih dari separuh semester yang kita alami di periode 2015/2016 ini. Apalagi, belum genap seminggu kita memperingati hari pahlawan. Oleh karena itu, sudah layak dan sepantasnya kita mulai bertanya kembali kedalam hati kita, membulatkan tekad kita, sebenarnya, untuk apa aku berada di kampus ini.

Untuk berjuang? Atau untuk menelantarkan perjuangan itu sendiri?

Sumber: 
TEMPO, 9-15 November 2015 Edisi Khusus Hari Pahlawan.

Minggu, 18 Oktober 2015

Catatan Pra Ujian : Pancasila dan Substansi Penerapannya di Masyarakat

Ibarat sebuah rumah yang berdiri kokoh, walaupun terjaan angin topan dan hujan badai, Pancasila telah menjadi suatu fondasi yang begitu baik bagi Bangsa Indonesia yang secara keseluruhan merupakan refleksi dari para pendiri Bangsa Indonesia. Cita-cita mulia, sebuah ideologi yang mendasari segala bentuk kebudayaan, adat istiadat, dan pedoman hidup bagi seluruh rakyat Indonesia yang mengikat sejak nafas pertama dihembuskan. Pancasila adalah dasar dari setiap nafas di Bumi Pertiwi. 

Derasnya arus globalisasi modern pada zaman ini tentu saja mulai merasuki setiap unsur kehidupan Bangsa Indonesia. Terkait eksistensi Pancasila, pastinya ada banyak terpaan dan cobaan dalam menguji validitasnya. Quo vadis? Mau dibawa kemana Pancasila kita?

Eksistensi Pancasila yang masih bertahan dari sekarang adalah warisan turun temurun dari manusia pertama yang mendengar istilah tersebut. Oleh karena itu, meskipun diserang oleh terpaan ideologi-ideologi lain melalui terbukanya arus globalisasi dari dunia barat, Pancasila akan tetap diwariskan dari generasi ke generasi. Pancasila merupakan fondasi bangsa, dan sebagai fondasi, Pancasila akan terus dihidupi oleh masyarakatnya. Sesuai dengan Teori Stufenbau oleh Hans Kelsen, Pancasila adalah norma hukum yang paling mendasar bagi Indonesia (grundnorm). Dengan demikian, Pancasila tidak akan bisa hilang dari Indonesia.

 Pancasila secara tidak langsung telah terdoktrin dengan begitu efektif. Oleh karena itu, walaupun terjadi pergejolakan dan upaya-upaya pelengseran kedudukannya sebagai sumber hukum, Pancasila tetap bisa bertahan. Faktor yang lain adalah kurangnya wawasan masyarakat Indonesia pada masa itu tentang ideologi-ideologi lain selain Pancasila, sehnigga masyarakat saat itu terkesan "alergi" dengan ideologi-ideologi lain selain Pancasila. Namun yang perlu ditekankan disini adalah, dalam menanggapi kasus yang dimaksud, kita harus berpikir dengan sangat objektif dan senetral mungkin, karena sampai sekarang, sudah tidak ada lagi yang tahu pasti apa yang sebetulnya terjadi. 

Tetapi jangan senang dahulu. Yang menjadi masalah disini bukanlah eksistensi Pancasila sebagai suatu kata benda yang diturunkan dari seorang ibu ke buah hatinya secara turun temurun. Yang menjadi masalah adalah substansi penerapannya di Masyarakat. Bagaimana masyarakat Indonesia pada dunia modern ini melihat kehidupannya dalam konteks Pancasila, dan bagaimana Pancasila tersebut dikorelasikan dengan kehidupan sehari-hari Bangsa Indonesia, daripada sekedar menjadi beberapa patah kata yang diucapkan setiap upacara nasional. Pancasila ibarat sebuah pohon besar yang melindungi seluruh rakyat Indonesia dari sengat panas matahari. Akarnya kuat, tetapi sayang daunnya meranggas. Tidak bisa dicabut, tetapi tidak bisa memayungi juga. Disinilah pelajaran Pancasila menjadi penting dalam mengisi daun-daun yang meranggas tersebut. Untuk menumbuhkan kembali daun-daun yang telah meranggas pohon besar yang menaungi kita semua. Belajar Pancasila berarti belajar menjadi orang Indonesia.

Tulisan ini merupakan hasil olah pikir dari: Leonardi Ryan Andika (FEB UI 2015), Matheus Nathanael Siagian (FH UI 2015), dan Timoteus Hansen Alby Valen (DKV Binus University 2015)

Minggu, 27 September 2015

Catatan Tengah Kuliah: Deru Derita Kehidupan

Bisakah engkau percaya pada mimpi? Jika rintik hujan tak lagi memberikan kesegaran pada alam semesta. Bisakah engkau menggantungkan mimpi pada titik tertinggi? Jika langit pun tak pernah mampu kita raih.

Hidup adalah setitik noktah ditengah hamparan kertas putih. Kesendirian dan kesunyian adalah sebuah elegi kehidupan yang paling nyata. Kegagalan adalah pedih yang tak ternilai sakitnya. Kebangkitan hanyalah utopia yang entah kapan mampu diraih tanpa adanya sebuah penopang.

Aku duduk bersimpuh di tengah padang pasir nan gersang. Aku bertelut di tengah dinginnya balutan salju Antartika. Aku tenggelam dalam kejamnya Laut Pasifik. Aku melihat rajawali terbang tinggi diatas kepalaku dengan mataku sendiri.

Di dalam temaramnya sudut kota, aku hanya melihat gumpalan lumpur yang menetes dari pelimbahan. Menatap air yang dulu sama-sama mengalir melalui pipa yang sama, yang kini telah menguap menjadi awan, dan aku hanya jatuh dalam saluran pembuangan.

Takdir adalah misteri kehidupan yang penuh dengan tanda tanya.
Pertanyaannya: Kemanakah takdirku?


Jumat, 18 September 2015

Catatan Tengah Ospek : Sendu di Karawang Timur

Sepi
Perlahan-lahan, sinar surya pun mengintip malu-malu dari ufuk timur dan goresan cakrawala.
Pagi merekah ketika burung-burung mulai mengepakkan sayap-sayapnya diatas hamparan sawah nan megah.
Kesunyian desa pun perlahan terpecah oleh deru sepeda motor yang melintas di jalan setapak nan berbatu.
Aku berdiri di dipan menatap hamparan padi yang mulai menguning sambil berpikir tentang hari itu.

Tetapi hari itu tak lagi sama seperti hari-hari sebelumnya.
Aku hanya bisa pasrah, menerima sambil sekaligus melepas.
Tetapi ini bukanlah anganku, bukan mimpi dan citaku.

Putihnya salju yang membalut kereta peluru itu tak mungkin dapat kuraih lagi saat ini.
Pasrah menerima kenyataan, bersyukur atas segala nikmat adalah dua tembok besar yang membatasi indahnya hidupku.
Tidak Laut Cina Selatan, maupun Laut Jepang yang akan menyambut setiap pagiku.
Juga bukan deretan hanzi ataupun kana yang akan mewarnai lidahku di masa-masa kuliah ini.
Bukan Hong Kong, maupun Jepang yang akan menjadi pijakan hidupku selanjutnya

Aku hanyalah seorang manusia yang terdampar di sebuah lubang takdir.
Aku hanyalah seorang pengelana, pengejar mimpi, meskipun mimpi itu tak kunjung berubah jadi nyata.

Aku, hanyalah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Dan dari Desa Darawolong ini, jiwaku kuhempaskan.

Karawang Timur, 18 September 2015



Jumat, 28 Agustus 2015

Catatan Tengah OSPEK : Masihkah Kita Berbahasa Indonesia?

"Rapat kiri, rapat kiri! Cepat dik! SUSUL teman di depannya!"

Teriakan-teriakan itulah yang saya dengar karena terus didengungkan oleh tim Komdis OPK FEB UI 2015 (Komisi Disiplin Orientasi Pengenalan Kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia). Sebagai seorang Maba (Mahasiswa Baru), tentunya saya harus mengikuti instruksi dari mereka. Kalau tidak, tentu teriakan yang lebih keras harus saya tanggung sebagai konsekuensi atas tindakan penyelewengan tersebut.

Tetapi tunggu dulu...

Ada sebuah keganjilan disini. Ada sebuah ambiguitas yang sering tidak kita sadari sepenuhnya. Kata "susul" apabila kita telaah lebih dalam, ternyata memiliki dua arti. Kata "susul" memiliki arti: mengejar yang ada di depannya. "Susul" juga berarti mengikuti yang sudah terlebih dahulu di depannya. Tidak salah memang, tetapi mungkin bagi sebagian orang, konsep yang tertanam didalam kepala mereka adalah pengertian yang kedua. Tentu kita sering mendengar para sopir angkot "menyusul" mobil yang di depannya. Ataupun juga, "susul" bisa berarti datang kemudian. Tentu kita sering mendengar kata-kata "Saya menyusul nanti ya". Artinya, konteks penggunaan bahasa disini masih bisa dipertanyakan.

Sebagai anggota dari salah satu universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia, terkadang kita masih kurang memahami dengan sungguh, dan mengaplikasikan dengan serius penggunaan bahasa di lingkungan kampus. Terlebih lagi, kata-kata tersebut keluar dari mulut para Komdis yang notabene bertugas untuk "mendisiplinkan" para maba.

Dalam hemat saya, masih ada kata-kata lain yang bisa digunakan untuk menginstruksikan maba yang terdengar lebih pas, seperti "Rapatkan barisannya, dik!", dan "Maju dik!". Memang hal semacam ini terkesan sebagai hal yang remeh-temeh. Tetapi bagi saya, proses pendidikan adalah proses pencarian kebenaran, dan kebenaran bukanlah sesuatu yang penuh ambiguitas. Terkadang, kita suka melupakan hal-hal sederhana semacam ini. Tidak hanya zaman sekarang, tetapi dari beberapa dekade yang lalu, perihal bahasa adalah perihal yang suka diremehkan. Menurut J. Drost, SJ (2006:27), "Di Indonesia, cara kita menangani proses penerimaan mahasiswa sama sekali lain dan tidak memperhatikan aspek itu (bahasa-red).

Pendidikan humaniora menjadi alasan fundamental mengapa penggunaan Bahasa Indonesia terkesan tidak begitu dipentingkan. Saya pun masih sering menggunakan Bahasa Indonesia dengan salah tanpa mengetahui letak kesalahan dan tanpa menyadari bahwa saya melakukan hal yang salah. Menurut J.Drost, SJ (2006:28), "Bahasa Indonesia untuk calon intelektual kita(mahasiswa-red) bukan merupakan sarana humaniora." Penggunaan bahasa di lingkungan perguruan tinggi yang masih salah, apalagi di salah satu universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia menjadi refleksi bersama bagi kita, apakah kita sebagai mahasiswa Universitas Indonesia sudah layak menyandang sebutan "mahasiswa terbaik di Indonesia"? Masihkah juga kita layak berbangga menyebut Universitas Indonesia sebagai universitas terbaik di Indonesia, jika fenomena semacam ini masih sering terjadi dan masih dijadikan hal yang biasa?

Tentunya tulisan ini hanyalah gambaran satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di lingkungan Universitas Indonesia. Ada kasus-kasus lain yang lebih parah, ada juga yang lebih ringan terkait penggunaan bahasa. Tulisan ini juga bukanlah sebuah tulisan akademik yang disusun secara ilmiah. Tulisan ini juga bukan bertujuan untuk menyerang satu-dua pihak yang berada dan bertanggung jawab terhadap permasalahan ini di lingkungan Universitas Indonesia. Tetapi yang saya harapkan, semoga tulisan ini menjadi refleksi kita bersama agar tidak terlalu menjadikan diri tinggi hati menjadi bagian dari warga Universitas Indonesia, karena toh, mempertahankan kedaulatan berbicara di negeri sendiri pun kita belum becus.

Semoga...

Referensi:
  • J. Drost, SJ. 2005. Dari KBK Sampai MBS: Esai-esai Pendidikan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
  • http://kbbi.web.id/susul diakses pada 28 Agustus 2015, 16.15 WIB

Selasa, 04 Agustus 2015

Catatan Pra Kuliah : Ketika Sayap-sayap Itu Mulai Melesat Lebih Tinggi

Ada sebuah pepatah, "Mengapa ada perjumpaan jika harus ada perpisahan".

Hidup yang benar-benar hidup telah kurasakan selama kurang lebih dua tahun. Ya, dua tahun aku mengarungi kehidupan bersama rekan-rekan sejawat yang menamakan diri kami "Sosial 15". Aku masih ingat betul, betapa kami pada awalnya begitu terkotak-kotakkan. Ada kawanan "haus", ada kawanan "borjuis", ada kawanan "surfing" (baca: tukang tidur di kelas), bahkan ada kawanan "anker" alias "anak kereta".

Dua tahun, kami digodok, berproses dalam dinamika belajar. Ya, "belajar" menjadi sebuah kata dengan sejuta makna. Aku tidak hanya belajar tentang hal-hal akademik saja, melainkan juga belajar untuk "hidup". Hidup untuk berbagi, peduli, mau saling membantu satu dengan yang lain.

Tentu, tiga bulan pertama bukanlah waktu yang mudah bagi kami untuk saling belajar. Namun Tuhan sungguh luar biasa. Kami mulai saling mengerti satu sama lain. Kami yang pemalu, mulai berubah menjadi agak berani. Kami yang egois, mulai belajar bagaimana berbagi dengan orang lain.

Inilah kami, saat pertama kali berjumpa dan melabelkan diri dengan titel "Sosial 15". Masih dengan ego masing-masing, masih dengan rasa kurang percaya diri, masih dengan segala egosentrisme yang melekat erat
Kemudian, hadirlah para pendidik yang mendidik kami dengan sejuta karakter, dengan kelebihan dan kekurangan mereka. Saling lempar argumentasi, sembunyi-sembunyi tidak mengerjakan tugas, hingga menggelontorkan orasi kepada pimpinan untuk berefleksi sebelum menurunkan peraturan yang tak pasti.

Dua tahun, yang tidak lama kemudian tinggal tersisa enam bulan. Kami pun tiba pada momen untuk menghadapi ujian akhir. Tidak hanya satu, tetapi serangkaian. Tetapi ada satu kekuatan yang membuat kami mampu melalui semua itu. Doa Bersama. Tidak cukup hanya berdoa, karena berdoa sendiri-sendiri adalah berdoa untuk masing-masing pribadi. Juga demikian, tidak cukup bersama-sama, larut dalam kebersamaan, tanpa adanya doa. Doa bersama, tidak hanya mendoakan aku sebagai pribadi, tetapi juga turut mendoakan sahabat-sahabatku dalam komunitas ini

Ada sebuah tradisi yang sangat aku ingat. Sesaat sebelum bel masuk ujian nasional, kami berkumpul, menyatukan tangan kami, seturut menyatukan doa dan permohonan kami, untuk menghadapi ujian akhir ini. YA, UJIAN AKHIR YANG TERAKHIR: MEMPERTAHANKAN KEJUJURAN.
Hanya satu doa kami, "Mampukan kami untuk melaluinya dengan kejujuran sesuai dengan usaha kami masing-masing".
Hingga akhirnya, kami mampu melewati tiga hari itu, walaupun dengan segala peluh dan perjuangan, dengan meneriakkan keberhasilan dengan kejujuran
Tetapi tidak akan pernah ada yang lebih bisa membuatku bangga, selain menjadi bagian dari komunitas ini.

Tidak terasa, waktu cepat berlalu. Kami sudah siap, menjadi pribadi-pribadi dewasa yang haus untuk memperjuangkan mimpi-mimpi yang telah ditata di masa SMA. Lima belas dari kami siap untuk melanglang buana, melanjutkan mimpi-mimpi mereka diluar bumi pertiwi ini. USA, Belanda, Inggris, Jepang, Australia, Singapura, Dubai, menjadi patok-patok baru yang siap ditanam untuk terus mengukirkan semangat kebersamaan ini. Sementara itu, empat belas dari kami siap mengukir prestasi baru di perguruan tinggi negeri di tanah air, dan sisanya di perguruan tinggi swasta di Indonesia.

Dua armada masa depan telah dilepas melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ya, 3 Agustus 2015, armada pertama dilepas menuju Melbourne atas nama Adrian Surya. Dia akan melanjutkan studi di Melbourne University. Armada kedua dilepas tepat hari ini, 4 Agustus 2015 menuju United States of America atas nama Yosef Martin Pradipta yang akan melanjutkan studi di Indiana University. Masih akan ada lebih banyak momen perpisahan yang harus kami hadapi.

Perpisahan, selalu menjadi momen pahit yang tak mudah untuk dilupakan. Tetapi obat paling manjur adalah pil terpahit, bukan? Melepas kawan-kawan seperjuangan untuk masa depan. Semoga kita bisa terus berkarya, saling mengukir kesuksesan hingga suatu saat nanti, dengan bangga, kita bisa dentumkan diri kita sebagai bagian dari SOSIAL 15 Kolese Kanisius, Jakarta.

Ite Inflammate Omnia!


Sabtu, 27 Juni 2015

Catatan Pra Kuliah : Untuk Wanita yang Lahir di Hari Kasih Sayang

Secarik kertas putih polos, tak akan bermakna apapun tanpa hadirnya tinta-tinta yang bertebaran diatasnya, yang membentuk ratusan, bahkan ribuan mozaik. Tidak hanya  ada yang harmonis sehingga mampu menyusun kata-kata penuh makna, tetapi juga ada yang tercoret dengan abstrak, tanpa ada sesuatu makna pun  yang mampu diinterpretasikannya. Manusia ibaratnya satu rim kertas putih kosong yang siap untuk dihujami tinta-tinta itu. Kita tidak pernah tahu, seperti apa guratan pena yang merobek samudra putih kosong nan suci itu. Apakah kita akan diisi dengan dokumen negara sangat rahasia? Atau kita hanyalah berguna sebagai scrap paper semata? Toh semua itu masih menjadi misteri.

Bicara tentang kehidupan. Kita sering dengan mudahnya membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan yang orang lain miliki. Rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau bukan? Kita selalu dengan mudahnya membicarakan apa yang orang lain miliki, tanpa kita ketahui apa yang ada di balik itu semua. Entah senyumannya yang membalut kepedihan hatinya, atau tawanya yang menyembunyikan tangisan pilu nuraninya? Kita tak pernah tahu, kawanku.

Untuk sahabatku yang akan segera melepaskan pijakan kakinya dari bumi pertiwi ini. Sahabatku yang gemar mencurahkan segala kegalauan hatinya kepadaku. Kembali kutulis catatan sederhana ini untuk engkau renungkan.

Sesungguhnya, perpisahan ibarat pedang bermata dua. Tinggal mana yang engkau pilih. Apakah mau kau gunakan untuk menjadi kekuatanmu? Atau kaugunakan untuk menghancurkan dirimu? Ya, aku tahu, memang sedih ketika kita harus meninggalkan sejuta memori indah yang kau rekam bersama dia. Memori yang kelak di masa mendatang bisa menjadi duri dalam daging. Atau, bisa juga kau gunakan memori-memori indah itu sebagai pelecut semangatmu dalam menggapai asa dan impian.

Sampai detik ini, aku masih percaya bahwa engkau adalah wanita perkasa, yang masih percaya akan mimpi. Kita bukanlah budak cinta yang terus terjerembab dalam kesedihan dan kegalauan, meskipun bukan berarti kita menghalau cinta dari kehidupan. 

"Time is like a river, you cannot touch the same water twice"
Jadikanlah pengalaman pahit sebagai pembelajaran dan pengalaman manis sebagai bonus kehidupan


Jangan lupakan: Gunung Prau dan Hokkaido 


Jumat, 08 Mei 2015

Risalah Akhir Sekolah : Langkah Pertama (part 3)

Kata salah satu iklan rokok, “Life is an adventure”. Akan tetapi bagiku, “Life is about choices and challenges”. Ya, tantangan dan pilihan selalu muncul silih berganti pada periode awal adaptasiku di komunitas SOS ’15 ini.

Pada suatu senja, aku duduk di depan ruang guru sedang menunggu Ibu Dwi Hardjanti untuk mengumpulkan tugas ekonomi. Tidak lama, Ibu Dwi keluar dari ruang guru. Aku pun segera menghampiri dan menyerahkan tugas ekonomiku. Kami pun berbasa-basi sejenak. “Rencana, mau jadi apa Le, kalau sudah besar nanti.”, tanya Ibu Dwi kepadaku. Aku pun menerangkan kembali peristiwa saat pemilihan jurusan, konflik dan peliknya ketika perdebatan dan argumentasi harus muncul saat menentukan pilihan hidup. “Mungkin saja, ikut jejak mama, jadi akuntan. Hehehe….”, jawabku ringan di akhir penjelasanku. Sejenak, Bu Dwi terdiam seperti mengenang memori masa lampau yang sudah lama terpendam. “ Dulu, Kanisius punya nama besar dalam dunia akuntansi di kalangan pelajar SMA. Tetapi itu dua puluh tahun yang lalu. Setelah itu, kita vakum, hilang dari peredaran seperti ditelan bumi, hingga detik ini.”, begitu kata Bu Dwi. Aku pun tertegun sejenak mendengar ceritera beliau. Bagaimana seluk-beluk, pahit-manisnya perjalanan Ibu Dwi bersama Pak Dirman dalam memoles anak-anak berkualitas dari Kanisius, hingga akhirnya, nama besar itu harus kalah oleh tindakan-tindakan tidak jujur dan tidak adil. Terlintas sejenak pemikiranku untuk menggali kembali pusaka yang telah terpendam lama.

Aku selalu terngiang-ngiang akan perkataan Romo Mintara kepada siswa-siswa SMP Kanisius, “You are men on missions. You are the agent of change”. Aku sadar betul bahwa kata-kata itu bukanlah wejangan semata, melainkan sebuah semangat yang dibangun dalam jiwa setiap kanisian. Iseng, kucoba mencari kompetisi akuntansi yang diselenggarakan di daerah Jakarta dan sekitarnya. Nah, ada satu kompetisi bernama Olimpiade Akuntansi dan Pasar Modal tingkat nasional. Dari namanya saja, sudah menunjukkan kelasnya sebagai kompetisi tingkat nasional.

Meskipun dengan ilmu seadanya karena baru di awal pertengahan semester 1 kelas 11, dimana baru 3 bulan belajar akuntansi, dengan sedikit keberanian, aku utarakan ideku kepada Pak Dirman dan Bu Dwi tentang rencana mengikuti kompetisi ini. Kuhubungi Pak Dirman terlebih dahulu karena memang beliau adalah guru pengampu mata pelajaran akuntansi. Seperti kataku diawal, hidup tidak hanya soal pilihan, tetapi juga soal tantangan. Maka, tantangan itu justru datang dari dalam komunitas sendiri. Ya, penolakan dari sang guru. Alasan-alasan logis dilontarkan secara bertubi-tubi. “Materi yang kalian pelajari masih terlalu dangkal. Nanti kalau kalah bisa bikin malu Kanisius. Lomba akuntansi itu ga mudah lho, butuh persiapan panjang”. Kuhitung mundur. Satu bulan persis untuk mempersiapkan diri. Dengan keyakinan, aku pun berkata pada beliau, “Dengan segala keterbatasan kami, pak, kami ingin mencoba.” Pak Dirman akhirnya mengiyakan dengan syarat beliau tidak mau memberikan jam tambahan untuk persiapan lomba ini.

Aku pun mempertimbangkan kembali semua alasan-alasan Pak Dirman.  Semua benar. Mungkin memang seharusnya aku tidak mengambil keputusan ini. Maka selanjutnya pun, aku mencoba menghubungi Ibu Dwi. Beliau sangat antusias dengan ide ini, dan beliau juga setuju untuk membantu kami mempersiapkan materi-materi yang belum kami kuasai. Ah, satu pintu lagi terbuka untuk mengejar mimpi ini.


Akhirnya, dipilihlah enam pelopor yang bersedia dan mau untuk mencoba masuk kedalam dunia yang sama sekali belum kami kenal. Yaitu dunia kompetisi akuntansi. Sore itu, aku, Ais, Dave, Tata, Adrian, dan Hero bersama Ibu Dwi merancang sebuah master plan untuk jadwal belajar untuk mengejar materi yang harus diselesaikan sebulan kedepan. Ketika aku kilas balik kembali, kusadari betul bahwa master plan itu bukanlah master plan biasa, tetapi adalah sebuah master plan untuk menggapai sebuah mimpi. Keberhasilan adalah mimpi yang dipersiapkan. 

Maka, sore itu kami mulai menyusun kepingan mimpi-mimpi kami sebagai penggagas awal komunitas akuntansi ini. 

(to be continued)

Minggu, 03 Mei 2015

Catatan Pra Kuliah : Untuk Perempuan Berkaus Merah Muda

Waktu tak akan pernah berlalu dengan sia-sia. Tetapi kita bisa menyia-nyiakan waktu. Ada sebuah masa dimana manusia mampu bangkit dan tenggelam dalam warna-warna kehidupan. Tenggelam, menuai rasa sakit, yang kadang tidak terperi. Bangkit, oleh sebuah harapan yang pantas diperjuangkan. 

Cinta itu adalah representasi dari hati yang dituangkan dalam gelombang transversal. Lewat gurun, lembah, gunung, bukit, dan samudra, serta berjuta kelokan yang entah tak jelas garis batasnya, kita semua terus berlari. Lari dari apa? Kadang kita pun tidak bisa mendefinisikan sesuatu yang mengejar kita. Atau, lari untuk apa? Kita pun sulit mendefinisikan untuk apa kita berlari. Setidaknya, janganlah lari dari kenyataan. 

Hidup itu layaknya DAS. Ada yang dendritik, pinnate, annular, radial. Tergantung, tergantung dari topografi yang ada, tergantung dari latar belakang kisah kita, dan tergantung dari kemauan kita untuk membentuk pemikiran kita. Dendritik, ketika kita menyukai petualangan, ingin tahu banyak hal. Maka ada ribuan, bahkan jutaan pilihan atas cabang yang menunggu kita. Tetapi, tidak semua aliran bermuara baik, bukan? 

Untuk sahabatku yang sedang dalam permenungan. Lewat fajar kita berharap, lewat senja kita berefleksi. Dan esok pagi, kita masih bisa melihat fajar yang sama. Dan semua itu terus berulang hingga akhir hayat. Ada jutaan ikan di lautan, ada siklus yang mengawali dan mengakhiri kehidupan terumbu karang. Ada miliaran pria di dunia ini, tetapi toh, hanya satu yang akan kau bawa pulang, bukan? Kalau kita sudah tahu akhirnya, buat apa kita terus menerus merenungkan hal yang sudah jelas? Atau mungkin ingin lihat prosesnya? Proses bukanlah tujuan, melainkan pembelajaran untuk mencapai tujuan itu. Samudra Pasifik hanya berjarak sepelemparan batu. Ya, 6.812 mil hanyalah jarak fisik. Tapi ada jarak hati, dan jika memang sudah digariskan, Mars dan Bumi pun hanya selangkah kaki. 

Senin, 27 April 2015

Risalah Akhir Sekolah: Dinamika Empat Penjuru Mata Angin (part 2)

Satu, dua, tiga..... setidaknya, ada satu sampai tiga sahabat dekatku yang memiliki berbagai variasi argumentasi atas pilihanku menapaki jurusan IPS ini. Yang mendukung, kuhanya bisa ucapkan beribu terimakasih atas doa dan dukungannya. Yang menolak, aku hanya bisa bungkam seribu bahasa karena toh aku belum bisa membuktikan keberhasilanku di komunitas ini.

Sejujurnya, aku tidak pernah tahu akan mengambil jurusan apa di perguruan tinggi sebagai konsekuensi atas pilihanku ini. Ya, satu hal yang kulontarkan di awal yang cukup membuat geger adalah aku ingin masuk jurusan Psikologi.

Seiring berjalannya waktu, aku merasakan perubahan dalam diriku. Mulai kutemukan bakatku di salah satu bidang yang membuat orang tua ku bernapas lega. Ya, ulangan pertama akuntansi menjadi titik tolak dari penetapan tujuan hidupku ke depan. Berhasil memperoleh angka 80 pada ulangan pertama akuntansi. Aku sumringah, mencoba membuat sebuah dobrakan baru bagi komunitas ini. Namun lompatan itu akan kubahas nanti.

Komunitas SOS 15 adalah komunitas yang unik. Di awal masa kelahirannya, komunitas ini bahkan mulai melakukan segregasi. Tidak mudah memang menyatukan ke-38 karakter yang berbeda sehingga punya satu visi dan misi yang sama. Aku ingat betul bagaimana terkotak-kotakkannya komunitas ini. Ada kumpulan orang yang selalu bertingkah konyol, ada sekelompok orang yang sama-sama berminat untuk main game di kelas, ada sekelompok orang pencinta futsal, dan ada sekelompok orang yang senang pergi jalan-jalan dengan segala hedonismenya. Konsekuensi dari segregasi inilah yang membuat kami selalu berdinamika dan bergejolak.

Namun, segregasi ini menciptakan aura kompetisi yang maksimal. Kami berusaha untuk menggapai pelbagai prestasi terbaik, baik di bidang akademis maupun non akademis. Lomba menjadi salah satu sarana untuk membuktikannya. Aku terjun di 4 bidang sekaligus: Tenis meja, jurnalistik, mural, dan akuntansi. Keempat penjuru ini kujalankan beriringan satu dengan yang lain. Ya, resiko ini aku ambil sebagai sebuah konsekuensi akan sebuah prinsip, bahwa bukan yang terpandai yang akan menang, tetapi yang terberani dalam mengambil resiko dari setiap perjalanan hidup. Tahun pertamaku di SOS 15 kututup dengan penghargaan apresiasi non akademis yang menciptakan kebanggaan dalam diriku.

Seorang pemimpin tidak hanya excel di bidang akademis, tetapi juga mampu memiliki kepribadian yang kuat dan kemampuan non akademis yang memadai. Dari sinilah aku mulai belajar untuk menanamkan jiwa kepemimpinan dalam diriku secara lebih dalam melalui pelbagai perlombaan. Suka atau tidak suka, inilah salah satu faktor terbesar pembentuk kepribadianku,
Karena Kanisius, ....

A place where leaders of service are made

Sabtu, 25 April 2015

Catatan Akhir OIC : Belajar dari Kesalahan, Berubah dari Kesadaran, Berakhir dengan Kemenangan

Hari ini menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku. Berdiri, dan berkompetisi di panggung grand final Olimpiade Indonesia Cerdas, tidak pernah ada di benakku sebelumnya. Bertanding di kompetisi sebesar dan sekaliber OIC dengan membawa nama almamater di pundakku, ya aku tak pernah bermimpi sebelumnya.

Aku selalu berpegang pada suatu prinsip bahwa belajar itu bukan hanya dari buku dan sekolah, tetapi dari pengalaman, dan kehidupan adalah sebuah proses, bukan sebuah tujuan. Maka dari itu, meskipun aku bukan siswa terpandai di sekolah, aku mau turun itu ikut ambil bagian dalam kegiatan OIC ini. Maka, menjadi runner-up dalam kompetisi ini adalah sebuah anugerah yang sangat berharga dari Tuhan. Kejayaan bukanlah milik mereka yang punya kepandaian, tetapi mereka yang mau mengambil resiko, dan memperjuangkan segala konsekuensi dari resiko itu untuk satu tujuan.

Bukan soal juara 2, juara 1, atau juara 3 yang menjadi penekanan dari acara ini bagiku. Yang terpenting adalah bagaimana ketika aku hidup, tumbuh, dan berproses di dalam kegiatan ini sehingga menjadi salah satu faktor pembentuk kepribadianku.

Di babak terakhir penyisihan daerah, SMA Kanisius dikalahkan oleh SMAN 61 Jakarta. Salah satu kesalahan terbesar kami adalah tidak mempersiapkan pertandingan itu sama sekali. Pertemuan kami dengan Edwin dkk untuk yang kedua kali di babak play off kemarin menjadi titik tolak dimana kami mulai mempersiapkan diri dengan matang. Ah, alhamdullilah, kami berhasil menjadi peringkat pertama dan melaju ke babak grand final.

Satu hal yang paling mengena di dalam hatiku adalah kata-kata Kak Erwin Parengkuan ketika kami berhasil lolos di babak playoff. “Kalau kalian menang, moodnya bagus, itu sudah biasa. Tetapi ketika kalian kalah, moodnya tetap bagus, inilah yang perlu diangkat topi”. Aku mencoba menanamkan nilai tersebut di dalam hatiku.

Semenjak mengikuti OIC Season 2, tanpa kusangka-sangka, semakin banyak lagi orang yang mengenalku melalui perjumpaan di layar televisi. Aku senang karena semakin banyak doa yang mengalir untuk mendukung SMA Kanisius. Melalui pengalaman ini, aku mulai belajar untuk menghargai orang-orang banyak, meskipun sulit karena semua notifikasi di semua sosial media yang kumiliki datang bagaikan tsunami yang membuatku bingung untuk membalas semuanya.

Maka dari itu, melalui tulisan ini, aku ingin berterimakasih kepada semua orang yang telah mendukung kami tim SMA Kanisius. Kami tidak bisa membalas segala doa dan dukungan kalian kecuali dengan rasa terimakasih kami yang sebesar-besarnya.

Kami juga berterimakasih kepada semua orang yang terlibat langsung untuk mendukung kami di studio maupun luar studio. Para mom’s CC, kak Joy, kak Zia, Kak Tolikin, Mas Trie, Mas Cemong, Bang Ocep, dan seluruh kru yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Kami juga berterimakasih khususnya kepada Kak Nirina Zubir yang selalu mendukung kami dengan mau digombalin oleh beberapa rekan kanisian, Kak Ira Koesno yang selalu mengkritik kami sehingga kami selalu mawas diri dan menjadi lebih terpacu untuk menjadi lebih baik, Kak Erwin Parengkuan, serta Kak Shahnaz yang selalu memacu dan mensupport kami dengan berbagai kata-kata mutiara yang membuat kami bangkit ketika kami jatuh. Salam untuk Charlotte dan Pru J

Yang terakhir, terimakasih kepada seluruh Keluarga Besar Kolese Kanisius, yang di dalam suka dan duka kita saling membantu. Tak kenal putus asa, dengan gigih terus maju. Dengan segala kekonyolan dan kelucuan, serta kepandaian dan kebijaksanaan selalu ada di sisi kami. To be men for and with others.

Satu catatan akhir yang perlu ditekankan, bahwa kemenangan ini bukanlah kemenanganku, Widi, ataupun Bimo, tetapi merupakan kemenangan bagi seluruh Keluarga Besar Kolese Kanisius, serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Semoga Tuhan memberkati semuanya.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Alexander Michael, “Layar masih terkembang, dan perahu tetap berlayar”. Begitupula hidupku, Widi dan Bimo. Ada ribuan tantangan yang menunggu di depan, ada jutaan pilihan yang harus kami hadapi, tetapi semuanya itu adalah sarana untuk mencapai tujuan manusia diciptakan, untuk memuji dan memuliakan Tuhan (Latihan Rohani no. 23).


Mungkin OIC Season 2 telah berakhir dan mungkin kemarin malam adalah terakhir kalinya kami tampil di layar televisi. Ada perjumpaan, ada perpisahan, tetapi tidaklah afdol ketika kita hanya melihat awal dan akhirnya saja. Alpha, tidak akan pernah sampai pada Omega tanpa Beta dan kawan-kawannya. Semoga perjumpaan singkat selama kurang lebih dua setengah bulan lalu bisa memberikan makna bagi semua orang yang menyaksikan kami. Percayalah, bahwa doa kami selalu ada di hati semua orang yang terlibat untuk mendukung kami. Hari ini adalah kenyataan, hari esok adalah harapan. Jadikan hidup ini penuh makna. 

AD MAIOREM DEI GLORIAM
Demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan


Jumat, 17 April 2015

Risalah Akhir Sekolah : Awal yang Menggugah, Awal yang Menggubah (part 1)

Hidup adalah bijih besi, yang diproses, ditempa, diubah bentuknya, serta ditambah nilai gunanya. Tetapi layaknya besi, hidup juga terpapar oleh panasnya sinar matahari, terhujam oleh butiran hujan yang tanpa kenal ampun masuk merasuk ke dalam setiap rongga yang menganga dan mengubah bentuk dari yang tadinya berguna, menjadi rongsokan.

Hidup adalah sebuah proses, dan disinilah aku memulai sebuah titik penempaan paling berarti sepanjang hidupku.

28 Juni 2013.

Ya, setidaknya tanggal itulah yang tertera di rapor akhir kelas X-A  semester 2. Di titik itulah aku telah menentukan pilihanku. Jika ditelaah kembali ke belakang, banyak pergolakan yang terus membuncah di kepalaku, serta banyak kegalauan dan kekhawatiran yang menghantui hatiku. Kira-kira dua bulan sebelum penjurusan, aku sempat melontarkan keinginanku untuk melanjutkan studi perguruan tinggiku di jurusan teknik kimia, dan aku telah melakukan langkah yang salah. Di hari penentuan jurusan, tantangan datang bertubi-tubi. “Kamu mau masuk teknik kimia, bukan? Sudah siap masuk IPA dong?” Kata-kata itu yang terus diucapkan oleh kedua orang tuaku berulang kali dalam perjalanan dari rumah menuju ke sekolah. Aku bungkam seribu bahasa.

Setibanya di depan gerbang almamaterku, aku disuguhi aneka ekspresi rekan-rekan sejawatku. Bahagia dan puas, silih berganti dengan ekspresi kekecewaan dan keputus asaan. Begitu juga dengan raut wajah para orang tua. Senyum, bergulir bersama kemarahan dan rasa kesal. Rapor yang diterima beberapa waktu lalu menjadi alasan mengapa mereka menyembulkan pelbagai ekspresi itu.

Ah, aku cukup bersyukur karena setidaknya aku adalah sang pemilih, bukan yang dipilih. Lepas dari apakah pilihanku sama dengan orang tuaku, semua masih menjadi misteri hingga kami masuk ke ruangan luas yang terletak persis disamping patung The Thinker yang selalu mengekspresikan raut kegalauan.

Tiga menit selanjutnya berubah menjadi sebuah pergolakan batin antara tiga manusia yang memiliki relasi terdekat ini. Layaknya segitiga bermuda, tiga titik yang tidak bisa menyatu merepresentasikan apa yang terjadi di ruangan itu. Dua puluh menit berargumentasi, aku pun menetapkan bahwa aku akan menjadi bagian dari keluarga besar SOS ’15.

Dan aku terus membayangkan petualangan apa yang akan terjadi dua tahun kedepan bersama manusia-manusia sosial ini…


(bersambung)

Minggu, 29 Maret 2015

Catatan Minggu Palma: Hikayat Mimpi dan Realita

Hidup, seperti perahu yang terombang-ambing, terkoyak diantara gelombang yang tak jelas arah pastinya. Sistem navigasi, layaknya filosofi hidup yang mendasari arah dan tujuan kemana kita akan berakhir. Tetapi kita tak pernah tahu, kemana sang nasib menghanyutkan perahu ini. 

Hidup, layaknya jam yang berdetak dengan pasti. Tetapi kita tak pernah tahu, apakah detik demi detik yang kita lalui selalu punya makna? Aku ingin memutarbalikkan rotasi jam yang tanpa pernah kasihan mendentumkan masa depan satu persatu tanpa kepastian. Wallahualam. 

Mimpi, dan realita. Dua hal yang sebenarnya tak jelas lagi batasnya. Belajar untuk berharap, entah sampai kapan hidup ini terus dicekoki oleh mulusnya kulit apel, tanpa kita pernah tahu belatung yang ada di dalamnya. 

Idealisme, hanyalah pisau bermata dua yang siap merobek rajutan mimpi-mimpi yang rapuh. Entah sampai kapan, aku berhenti menggantungkan hidup pada mimpi. Entah sampai kapan, aku memulai meletakkan segala luka, nanah, borok, yang tak lagi mampu diobati ke dalam lingkaran realita. 

Kepasrahan, hanyalah jalan tengah untuk manusia-manusia tak tahu arah. Hanya untuk mereka yang terjebak di dalam himpitan mimpi dan realita. Hai mimpi, berapa lama lagi engkau memberikan kekuatan-kekuatan asap bagi cinta dan masa depan. Hai realita, masih adakah separuh buah simalakama yang mau kau bagikan kepadaku?

Kalau aku Ahmad Fuadi....
Andai aku Andrea Hirata....
Aku akan pergi menemui Tuhan untuk meminta ampunan atas semua kebohongan

Ah, semuanya telah bergulir dengan percuma
Kusandarkan semua yang ada padaku pada keilahian

Jakarta, 29 Maret 2015

Senin, 23 Maret 2015

Catatan Perjalanan KRL : Mata Hati untuk Berbagi

GONDANGDIA-(20/3/2015). Siang yang biasa di Stasiun Gondangdia. Aku bersama para rekan sejawatku di SMA Kanisius kembali memasuki Stasiun ini untuk menggunakan moda transportasi yang biasa kami gunakan sepulang sekolah, KRL Commuter Line. Setelah melakukan aktivitas "biasa" disana, kami memutuskan untuk naik ke lantai 3 Stasiun Gondangdia alias ke area peron. 

Seperti biasa, kami ngobrol sembari menunggu kedatangan kereta JakartaKota-Bekasi ataupun JakartaKota-Bogor. Kebetulan saat itu, kereta menuju Bogor lebih dahulu tiba di Gondangdia sehingga aku memutuskan untuk naik kereta jurusan Bogor agar bisa tiba lebih cepat via Stasiun Tebet. Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya kereta jurusan Bogor pun tiba. Aku pun melangkahkan kaki naik ke dalam gerbong dengan tergesa-gesa. Tak sadar, ada seorang pria tunanetra mencoba naik ke kereta. Beruntung, teman-temanku yang masih di peron membantu beliau untuk naik seraya memanggil namaku untuk membantu beliau mencarikan kursi. 

Aku menggandeng tangan bapak tersebut. Kegusaran beliau terlukis jelas dari raut wajahnya. Aku mencoba menanyakan tujuan beliau. Ternyata, beliau ingin pergi ke stasiun Depok. Kereta siang itu tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak sepi sehingga aku harus membawa sang bapak ke kursi prioritas di setiap pojok-pojok gerbong. Sementara ia duduk, aku berdiri disamping beliau, menatap wajahnya yang penuh harap. 

Perlahan, roda-roda KRL mulai bergulir. Stasiun demi stasiun pun dilalui dengan pasti. Tak terasa, aku pun hampir tiba di Stasiun Tebet, tujuanku. Aku pun segera pamit dengan sang bapak tunanetra itu. 

Kasih. Ya, walaupun hanya sekejap perjalanan Gondangdia-Tebet, aku ingin mencoba berbagi sesuatu yaitu kepedulianku dalam wujud perhatian. Terkadang, berbagi kasih tidaklah harus melalui sesuatu yang luar biasa. Lewat pengalaman sederhana, aku merasa Tuhan sedang bekerja menyentuh hatiku untuk lebih banyak lagi berbagi. 

Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk menyentuh hati nurani

Jakarta, 23 Maret 2015

Catatan Tengah Ujian : Senja di Stasiun Buaran

Terjebak dalam sebuah keadaan yang anomie

Mentari itu perlahan-lahan turun dari tahtanya. Ribuan manusia hilir mudik di sebuah peron yang tak cukup luas itu. Tua-muda, laki-laki maupun perempuan silih berganti keluar masuk dari pintu-pintu elektronik yang hanya dibuka dalam tempo waktu yang singkat. Aku pun berdiri di sebuah sudut, menanti sesuatu yang tak pasti. Mata menatap realita yang ada, tetapi mata hati berkeliaran menatap masa-masa silam. Punctum proximum dan punctum remotum menjadi kehilangan batasan ketika suara hati berkeliaran menguasai setiap sistem saraf. Ah, aku termenung di tengah elegi kehidupan. 

Jika Marx pernah berkata, agama hanyalah sebuah candu, maka aku dapat menarik kesimpulan bahwa mimpilah yang sesungguhnya sebuah candu. Andrea Hirata hanyalah satu dari sekian juta orang yang beruntung, dimana takdir selaras dengan kekuatan mimpinya. Tetapi tidak banyak manusia-manusia yang dianugerahkan beribu keberuntungan. Kulihat raut yang terpampang pada wajah manusia-manusia yang turun dari rangkaian kotak besi yang silih berganti datang dan pergi. Tergambar jelas banyak keriput yang melambangkan kebosanan akan rutinitas, ataupun kekecewaan yang tak terlepaskan. Gedung-gedung di kawasan CBD kota tiranopolis ini menjadi saksi bisu akan jahanamnya kehidupan. Tembok-tembok tempat menggantungkan papan-papan ilmu menjadi mata yang melihat kerasnya para penuntut ilmu disandera oleh kejamnya sistem yang diimplementasikan lewat kurikulum. Menilik realitas semacam ini, aku kembali bertanya. "Hai mimpi, apakah engkau nyata?"

Aku memutuskan untuk keluar dari peron Stasiun Buaran, dan berjalan menyusuri sisi stasiun yang bersebelahan dengan jalan raya. Langkah demi langkah, aku memperhatikan coret-coretan di dinding bawah Stasiun Buaran. Tembok yang penuh dengan ungkapan kekecewaan. Ah, hati ini kembali bergetar ketika kata-kata cinta yang mendayu-dayu tersembul diantara ungkapan yang lainnya. Terlalu sering hati ini terpapar sinar radiasi sehingga nikmat tak bisa lagi menanggung perih. Kapan? Kapankah hati ini mencapai perihelion, mengapa selalu terjebak dalam posisi aphelion? Sudahlah, tidak ada kata lagi yang sanggup merefleksikan keadaan sore itu. 

Kubiarkan semuanya berlalu tanpa kuketahui sesuatu yang pasti

Buaran, 13 Maret 2015

Catatan Tengah Ujian: Senja di Menteng Raya (Competence?)

Lorong ilmu itu nampak mulai kehilangan keriuh-rendahannya ketika matahari mulai berangsur turun dari atas kepala. Ya, satu per satu, para armada masa depan melangkah meninggalkan kolese kami. Hanya tersisa beberapa pasang mata yang masih setia dengan segala macam tugas dan tanggung jawabnya, yang rela tetap tinggal disana. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul tiga petang. Di ruang yang "katanya" sarat akan penggemblengan "kepemimpinan ala Ignasian" itu, hanya tersisa lima manusia, antara lain ada Matheus dan William, kedua sahabat yang selalu menjadi inspirasi sekaligus antitesis bagiku. Karena kami sudah lelah, Matheus pun mengajak aku dan William untuk melepas penat di salah satu resto dekat sekolah kami. 

Kami bertiga berjalan menuju resto tersebut, dan langsung memesan menu yang paling sederhana, setidaknya cukup dan sesuai bagi kantong anak SMA seperti kami. Sambil menunggu pesanan, pembicaraan pun mulai dibuka. Mulai dari yang ngalor-ngidul, hingga yang idealis sekalipun terlontar menjadi topik pembicaraan kami. Dengan berapi-api, kami saling bicara soal visi dengan berlandaskan idealisme masing-masing. Ah, sungguh masa-masa paling bermakna ketika kami yang "katanya" calon pemimpin masa depan mulai saling beradu argumentasi karena ketidaksesuaian pendapat. 

Dari berbagai hal yang dibicarakan, ada satu yang meninggalkan kesan mendalam bagiku dalam perbincangan itu, tentang bagaimana 3C menjadi sesuatu yang ambigu bagi kanisian. Bicara soal competence bukanlah hal yang asing lagi di telinga para anggota kanisian. Tetapi kembali dipertanyakan, apakah esensi dari competence itu sendiri? Apakah competence adalah melulu soal nilai-nilai akademik? Tak pelak lagi, inilah konsepsi yang sudah tertanam di benak para kanisian. Ketika ditanya, apa itu competence? Jawabannya pun singkat: kepandaian, kepintaran, terutama dalam nilai-nilai pelajaran (akademik). Tetapi ketika kita menilik lagi lebih jauh makna competence yang sesungguhnya, nilai, kepandaian, dan kepintaran di bidang akademik hanyalah satu elemen kecil dari makna competence yang lebih hakiki. Bagiku, competence adalah soal kemampuan bernalar, berlogika, menyelesaikan masalah dengan cerdas dan cermat, efektif dan efisien. Mereka yang tidak memiliki nilai superior bukan berarti tidak memilikicompetence. Bagiku, competence skill terlihat jelas ketika ada kegiatan-kegiatan di sekolah, bagaimana kami para panitia berpikir keras menyelesaikan target-target dengan deadline yang menantang. Dan selanjutnya, competence tidak akan berarti apa-apa tanpa dikolaborasikan dengan dua "C" yang lain, conscience dan compassion. Maka dari itu, agak aneh ketika dalam pelajaran agama yang lalu, kami diminta membuat refleksi tentang masing-masing "C" yang ada secara terpisah-pisah. Apa artinya competence tanpa hati nurani dan kepedulian? 

Ah, lucu memang ketika kami para kaum muda mencoba membicarakan hal yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Lucu ketika banyak dari kami yang sudah mengenyam pendidikan di Kolese Kanisius selama hampir tiga tahun, atau bahkan enam tahun, masih memaknai competence sebagai sesuatu yang identik dengan nilai akademik. Kembali kami pertanyakan, apakah proses penanaman nilai di SMA Kanisius sudah benar-benar dilakukan dengan baik, terutama dengan prinsip cura personalisnya? Apakah siswa hanya sekedar dicekoki materi-materi pelajaran setiap hari demi mempertahankan titel PERINGKAT PERTAMA UJIAN NASIONAL? Selanjutnya kita hanya tenggelam dalam popularitas semata, membanggakan alumni Kanisius dengan nama besarnya, padahal belum tentu mereka mendapatkan titik tolak kesuksesannya di kolese ini. Lalu, kemana larinya dua "C" yang lain? Terkubur dalam hijaunya rumput lapangan sepakbola?

Tak terasa hari sudah senja, matahari sudah kembali ke ufuk barat. Dua jam yang cukup berharga bagiku hari itu. Mungkin kami hanya tiga anak biasa yang berbicara hal-hal yang tidak biasai. Tetapi bagiku yang terpenting adalah kemauan untuk peduli dengan kenyataan dan permasalahan yang ada di sekitar kita. Bukan angkat tangan dan lari dari kenyataan, tetapi turun tangan dan bergerak memperbaiki masa depan. 

Untuk mengubah dunia ini hanya dibutuhkan KESANGGUPAN. Sekalipun kesanggupan itu datangnya hanya dari 1 (satu) orang saja; KESANGGUPANKU
-John Gowhere-

Di hari kasih sayang,
14 Februari 2015

Catatan Pasca Ujian : Senja di Utara Jakarta

Hati terasa sepi ketika melihat untaian aksara berbaris diatas selembar kertas putih. Terkesiap, sesuatu di dunia ini tak pernah ada yang pasti. Sejenak aku menghela napas sebelum kuputuskan untuk keluar dari ruang nestapa itu. Ah, satu cobaan yang kulewati lagi minggu ini.

Masa depan layaknya butir-butir pertanyaan ulangan akuntansi, terombang-ambing diantara dua kepastian. Remedial, atau lulus. Tetapi sayangnya hidup ini tak ada remedialnya. Terdesak didalam keadaan subsisten. Tetapi waktu terus bergulir dengan sadisnya tanpa pernah punya kasihan. Setiap detik memiliki jutaan arti yang tak pernah mampu diungkap oleh manusia.

Hidup itu layaknya sebuah bola yang dimainkan oleh seorang anak balita, yang menjadi representasi dari Tuhan. Dan kita adalah seekor tikus yang terjebak di dalam bola itu. Ketika bola itu ditendang, kita bisa terpental ke posisi puncak, atau bahkan terjerembab ke dasar bola itu.

Hari ini, aku melihat secercah harapan. Aku bukan lagi tikus di dalam bola. Hidup menjadi sesuatu yang penuh makna ketika syukur menjadi senapan untuk melawan setiap kesedihan, kemalangan, dan keputus asaan, serta harapan menjadi peluru yang siap menembus masa depan.

Di dalam segala kerisauan itu, aku berjalan melangkah, menatap masa depan. Aku ingin menantang angin, menerjang ombak, menembus setiap asa yang kubangun di dalam sebuah utopia kehidupan yang disebut cita-cita. Dan yang paling penting dari semuanya itu, aku diciptakan untuk menjadi garam dunia, yang larut tetapi tidak hanyut.

Bidukku kan kukayuh menyebrang samudra demi kandas di taman surga. 

7 Februari 2015

Minggu, 22 Maret 2015

Catatan Malam Natal: Sekotak Nasi di Lampu Merah

Malam Natal, merupakan salah satu hari paling sakral bagiku. Tidak hanya secara spiritual, aku disegarkan kembali tentang makna kelahiran Yesus sang penyelamat, tetapi dari segi sosial, malam natal merupakan saat dimana keluargaku berkumpul didalam makan malam, entah di rumah secara sederhana, ataupun sekedar santap malam di restoran sekitar Gereja. 

Malam itu, 24 Desember 2014, aku mengikuti misa malam natal di Kolese Kanisius. Sepulang misa, aku bersama keluargaku memutuskan untuk makan di salah satu restoran favorit kami di sekitaran Gondangdia. Hanya terucap rasa syukur karena aku hampir mencapai penghujung tahun 2014 dengan pelbagai pengalaman yang membangun setiap sisi dari pribadiku. 

Didalam perjalanan menuju rumah selepas makan malam, kami melewati pertigaan Salemba, dekat RS Sint Carolus dan RSUP Ciptomangunkusumo. Sambil menikmati alunan lagu-lagu natal dari Michael Buble, aku memperhatikan situasi jalanan malam itu. Tidak ramai, namun juga tidak terlampau sepi. Kerlap-kerlip lampu yang saling bergantian akibat rem dari mobil-mobil itu menciptakan sebuah harmonisasi yang indah di dalam imajinasiku. Ahh.., Christmas Eve....

Di dalam lamunanku, tiba-tiba aku tersentak dengan kehadiran seorang anak kecil membawa gitar kecil, mengamen dari satu mobil ke mobil lain, mencoba mengumpulkan receh demi receh. Hingga akhirnya, anak itu tiba di mobil samping kiriku. Tak kusangka, sang pengemudi tidak bersikap seperti pengemudi lainnya. Ia mengeluarkan sebungkus tas kresek berwarna merah berisi sekotak nasi. Aku tersentak, iseng, kubuka sedikit kaca jendela mobilku agar bisa melihat lebih jelas kejadian ini. Kulihat lebih lanjut lagi, seorang ibu berjilbab yang duduk di belakang sang sopir juga mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribuan, dan sekotak nasi, lalu memberikannya kepada anak itu. Kudengar sang ibu sempat berbicara. "Ini dek, sesekali pas Natal, makan yang lahap ya...". 

Hatiku tersentuh oleh kejadian itu. Malam Natal, malam dimana sang juruselamat (menurut umat Kristiani) lahir. Malam dimana kami umat Kristiani merayakan salah satu hari sakral, entah dengan makan mewah bersama, atau pergi liburan. Tetapi terkadang kita lupa, bahwa masih banyak sesama manusia yang berkekurangan. Wajah cerah nan gembira anak kecil di lampu merah itu menjadi bukti nyata, buah cinta kasih yang telah ditanam oleh sang ibu dan bapak yang mau berbagi, meskipun sederhana, meskipun mereka sesungguhnya tidak merayakan Natal. Tetapi mereka memahami, esensi, inti sari dari Natal itu sendiri. Yaitu untuk membagi kabar sukacita kepada semua orang. Layaknya Yesus yang datang ke dunia membawa kabar suka cita. Bukan untuk mereka yang kaya raya, punya jabatan, atau bekerja di tempat suci. Tetapi buat mereka yang berkekurangan, yang terlantar, yang tersingkirkan. 

Malam itu, ibu berjilbab dan sang sopir yang memberikan sekotak nasi kepada sang pengamen cilik di lampu merah Salemba pada malam natal itu, adalah representasi Yesus yang datang dan mau mengetuk nurani dan kepedulianku. 

Catatan Tanpa Kategori: Hikayat Dua Manusia

"There ain't no mountain high enough
Ain't no valley low enough
Ain't no river wide enough
To keep me from getting to you"

Nada-nada dan lirik lagu tersebut terus bergeming di telingaku ketika sore itu, aku sedang asyik memandangi setiap guratan wajah yang terpampang melalui layar monitorku. Satu album penuh kusimpan baik-baik setiap potret diri yang bermunculan dari berbagai sumber. Bahkan, waktu pun tak mampu mengurai setiap partikel yang menggambarkan keindahan yang esensial darimu. 

Ah....
Apakah ini yang dinamakan cinta (?). Bahkan, deretan angka McLaurin pun tak sanggup mendefinisikan perasaan ini sebagaimana itu selalu mampu menyelesaikan setiap persoalan diferensial. Kunikmati setiap detik yang berdetak dari arloji diatas meja komputerku. 

Tiba-tiba saja, kuterima panggilan Skype dari sahabatku nun jauh disana. Ada apa gerangan? Malam itu, jam dinding di kamarku menunjukkan angka pukul 18.23. Jika kuhitung, dia mengajakku untuk bicara pada pukul 03.23 subuh waktu setempat. Kuterima panggilan darinya dan kutanyakan kabarnya. Ah, ratapan keputus asaan mewarnai setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Malam itu, langit pun serasa berubah menjadi biru melambangkan kesenduan yang dialami. Aku pun ikut terbawa emosi sesaat itu. Ya, bukan masalah sepele yang sedang kawan karibku hadapi. Cinta. Kembali engkau yang menjadi biang keladi dari kekacauan yang menimpa sahabatku ini. Cinta tak selamanya indah. Cinta tak selamanya penuh gairah. Cinta yang dialami sahabatku ini, justru membawanya pada kelabu yang merekah di lubuk hatinya. Dengan pengetahuan yang seadanya, kuluncurkan setiap aspirasi dan saran yang ada di otakku dengan penuh ke sok tahuan. Layaknya balon gas yang angkuh, mencoba menerka setiap alamat rumah dari para penunggangnya yang entah datang dari negeri utopia atau negeri lucifer. Kututup panggilan malam itu dengan kata "SABAR". 

Kulanjutkan kembali untuk memandangi untaian karya Tuhan nan indah melalui potret dirinya. Namun malam itu, hatiku sudah layaknya Planet Jupiter. Aku hanya bisa mengikuti kecamuk yang muncul dalam hatiku. Layaknya kisah Siti Nurbaya, ada pelbagai pergolakan yang muncul untuk memperjuangkan perasaanku. Ditanbah dengan kisah yang baru saja kudengarkan dari sahabatku membikin hatiku mulai tergerus oleh ranah koginitif yang dapat menghancurkan semangat yang sejak dulu kutanam. "Inikah yang dinamakan cinta?".

Playlistku berlanjut ke lagu berikutnya. Dan aku menyadari bahwa semangatku kembali tumbuh meskipun ada berbagai rintangan yang mungkin akan terus menerpa, sebab ada sebuah target yang ingin kucapai. 

"Seni kehidupan adalah ketika kita berjuang dalam situasi yang sulit". -Shirin Ebadi-

Climb every mountain,
Search high and low,
Follow every byway,
Every path you know.

Climb every mountain,
Ford every stream,
Follow every rainbow,
'Till you find your dream.

A dream that will need
All the love you can give,
Every day of your life
For as long as you live.

Climb every mountain,
Ford every stream,
Follow every rainbow,
Till you find your dream

Catatan Tengah Mid Semester: Pendidikan adalah Sebuah Ironi

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau"
-Soe Hok Gie-

Kutipan diatas merupakan sebuah seruan, sebuah pernyataan yang menampar (itupun kalau mereka masih punya kepekaan) mereka yang saat ini masih merasa diri sebagai satu-satunya sumber ilmu yang paling benar. Ironisnya, kondisi seperti ini ternyata kerap kali terjadi  di institusi pendidikan di Indonesia,  yang bahkan salah satunya pernah memberikan asupan ilmu nilai-nilai pendidikan bagi sang revolusionis muda ini, hingga saat ini. 

Pernyataan ini bukanlah sebuah gosip tak berdasar semata, tetapi nyata terjadi dan menimpa segelintir, atau bahkan sebagian kalangan kaum intelektualis yang haus akan ilmu. Buku paket yang harusnya menjadi sarana penunjang kegiatan pembelajaran, justru diperlakukan dan disikapi layaknya sebuah kitab suci. Bak seorang fundamentalis tulen, setiap titik dan koma yang ada disana harus disalin seidentik mungkin di lembar jawab ujian, atau remedial menjadi jalan yang harus ditempuh. Pertanyaannnya? Apakah kami, para armada masa depan ini diajarkan untuk hanya sekedar "menyalin" tanpa memahami pemaknaan yang sesungguhnya? Apakah institusi pendidikan dibangun hanya untuk menciptakan mesin-mesin penghafal tanpa nurani dan kemanusiaan?Atau justru arahnya, kami memang dididik untuk menjadi plagiator-plagiator kelas kakap? Tidak heran apabila ada kasus alumnus yang di DO dari universitas karena menjadi seorang plagiator skripsi ketika melihat realitas pendidikan yang ada ternyata memang seperti ini. 

Namun, ternyata tidak semua tenaga pengajar memiliki idealisme kuno seperti ini. Guru Bahasa Indonesia saya di SMA serta mantan guru PKn saya di SMP selalu mengajarkan setiap siswanya untuk bersikap kritis menyikapi setiap permasalahan yang ada. Sikap kritis akan selalu menjadi senjata ampuh untuk menghadapi kondisi sosial masyarakat kita yang kian carut-marut ini. Misalnya, ketika kita bicara soal, bagaimana ketika ideologi Pancasila tidak lagi sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa karena diubah menjadi ideologi tertutup, maka tidak cukup apabila kita hanya tahu apa ciri ideologi terbuka dan apa ciri ideologi tertutup. Tetapi lebih dari itu, kita perlu tahu apa yang menjadi latar belakang penciptaan suatu Ideologi bernafaskan Pancasila, realitas yang ada di masyarakat terkait dengan pemaknaan Pancasila, dan juga proyeksi ke masa depan apabila penyimpangan ini terjadi. Tentu ketiga hal ini tidak akan pernah bisa kita temukan di buku paket karena memang masalah yang dibahas adalah sebuah masalah yang kontekstual. Maka dari itu, penting bagi semuanya, baik siswa maupun staf pengajar untuk memahami masalah kontekstual yang ada di masyarakat supaya sikap kritis selalu bisa dikembangkan di dalam dunia pendidikan. Bukan hanya sekedar text book belaka. 

Menilik kembali apa yang disampaikan oleh Bapak Anies R. Baswedan beberapa waktu lalu dalam seminar pendidikan di SMA Kolese Kanisius, Integritas adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia untuk mencapai sebuah keberhasilan. Pertanyaannya, apakah seorang staf pengajar yang memiliki pemikiran yang tertutup sudah mengimplementasikan integritas dan sudah menjadi role model bagi orang-orang(suka atau tidak suka) yang menjadikan beliau panutan? 

Efek jangka pendeknya tentu akan banyak pemikiran-pemikiran brilian yang dipaparkan siswa di kertas ulangan, akan dihantam semena-mena saja dengan nilai-nilai yang menuntunnya menuju ke kelas remedial. Selain itu, akan terpupuk rasa benci yang akhirnya akan terakumulasi dan menimbulkan luka batin bagi banyak siswa yang diajarnya. Tetapi yang lebih menyesakkan lagi, dalam jangka panjang, para siswa secara sadar maupun tidak sadar akan dibimbing menuju kemunduran pemikiran. Siswa tidak diajak lagi untuk berpikir kritis dalam menganalisis situasi-situasi sosial yang konkret terjadi. Akibatnya, bahaya laten degradasi intelektualitas terus membayang-bayangi kaum muda saat ini. 

Dalam hemat saya sebagai seorang siswa biasa, diperlukan sebuah komunikasi yang intens antara siswa dengan staf pengajar terkait metode pembelajaran serta topik-topik yang hangat yang menjadi polemik masyarakat saat ini. Tidak cukup berhenti disana, tetapi dalam rubrik penilaian, siswa juga disosialisasikan apa yang menjadi kriteria-kriteria penilaian(terutama soal esai), supaya objektivitas dapat dirasakan baik guru dan siswa. Selain itu, soal-soal yang bersifat ambigu juga sebaiknya dipertimbangkan kembali apakah sudah sesuai. Terakhir, perlu diadakan audiensi-audiensi terjadwal supaya apa yang dijabarkan diatas dapat terealisasi. 

Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya, kalau mengkritik, kenapa tidak langsung ke orangnya saja. Maka saya tekankan, SUDAH. Dan ketidakpuasanlah yang didapatkan. Maka, ketika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja.

Catatan Pra Mid Semester : Ayam Bakar Kecap dan Es Teh Manis

Hari itu (26/9/2014), aku bersama seorang sahabatku berniat untuk pergi ke salah satu kantor di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Kami berniat untuk meminta informasi terkait dengan persiapan tes IELTS untuk perguruan tinggi. Pukul 13.30 kami berdua berangkat menuju ke kawasan tersebut dengan menumpang Kopaja P20. Sesampainya disana, kami lalu menghabiskan waktu hingga pukul 15.

Seleseai dengan urusan informasi, kami memutuskan untuk makan di daerah tersebut. Karena kami berada di kawasan perkantoran dan tidak ada kios makanan kaki lima yang ada di sekitar tempat itu, maka kami harus berjalan sekitar 5 menit untuk menuju ke salah satu sentra penjual makanan kaki lima. Ada berbagai macam pilihan mulai dari soto hingga hik solo. Tetapi akhirnya kami pun memutuskan untuk makan di salah satu kios ayam bakar. Akhirnya, kami pun memesan dua porsi ayam bakar kecap dengan minum es teh manis. 

Ketika kami sedang asyik berbincang, tiba-tiba datang seorang pemuda yang menjajakan sendal dan sepatu. Kami pun menolak dengan halus tawaran beliau untuk membeli karena memang kami sedang tidak butuh untuk membeli sepatu maupun sendal. Sekali menolak, beliau tetap menawarkan produknya. Aku pun mulai kesal karena sampai penolakan yang ketiga, pemuda ini tetap mengeluarkan segala jenis barang dagangannya sambil mempromosikan berbagai jenis sepatu dan sendal. 

Ah, aku pun kesal dengan sikap penjual ini. Ditambah lagi, kondisi kepalaku yang sedang mumet dan badanku yang lelah, aku pun meminta penjual sepatu dan sendal ini untuk pergi meninggalkan kami dengan nada yang agak meninggi. Si penjual itu pun juga ikutan kesal dan dengan cepat segera membereskan barang dagangannyya, lalu bersiap pergi meninggalkan kami.

Ketika sang pemuda itu hampir pergi meninggalkan kedai ayam bakar tersebut, si mbok penjual ayam bakar tiba-tiba memanggil pemuda tersebut. Sontak sang pemuda segera mempercepat langkahnya karena mengira akan dimarahi oleh si mbok. Tetapi, sebuah keputusan nan mulia muncul dari tindakan si mbok.

Si mbok penjual ayam bakar memanggil pemuda penjual sepatu dan sendal itu. Beliau hendak memberikan segelas es teh manis untuk si pemuda yang tampak kehausan. Sang pemuda menolak karena merasa tidak enak karena telah mengganggu warungnya. Tetapi si mbok memanggil salah satu asistennya dan menyuruhnya untuk memberikan sebungkus es teh manis kepada pemuda penjual sepatu dan sendal itu. 

Ketika sang pemuda menerima es teh manis pemberian si mbok penjual ayam bakar tersebut, raut muka si mbok berubah menjadi cerah dan berseri-seri. Sebungkus es teh manis sore itu telah melegakan dahaga jasmani sang penjual sepatu dan sendal keliling tersebut, tetapi tindakan si mbok yang penuh ketulusan telah melepaskan dahaga rohani aku dan sahabatku untuk saling berbagi kepada sesama manusia. 

Aku, bersama sahabatku pun berjalan menyusuri sore di selatan Jakarta itu dengan insightdan inspirasi baru...

Catatan Perjalanan KRL : Bapak Tua VS Ibu PNS

Stasiun Gondangdia petang itu tidak terlalu ramai. Maklum, hari ini adalah hari Sabtu. Seperti biasa, aku menunggu di peron jalur 2, menanti kedatangan KRL Commuter jurusan Jakarta Kota-Bekasi yang selalu kutumpangi untuk pulang ke rumah. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kereta pun tiba di stasiun Gondangdia. 

Ketika masuk ke dalam gerbong, penumpang tidak terlalu penuh. Aku tidak perlu bersesak-sesakan untuk naik. Tetapi nampaknya aku kurang beruntung. Semua kursi penumpang sudah terisi. Akhirnya aku pun harus berdiri. Lepas dari stasiun Gondangdia, aku menikmati pemandangan yang kuamati lewat jendela. Pesona langit sore yang berwarna jingga, dipadu dengan guratan-guratan tipis awan, serta sinar yang dipancarkan oleh gedung-gedung bertingkat di kawasan Kuningan dan Sudirman menambah nikmatnya keindahan sore itu. 

Tak lama berselang, tibalah kereta di Stasiun Cikini. Dari arah peron, masuklah dua PNS dengan tergesa-gesa sambil berbincang seorang dengan yang lain. Kebetulan, dua orang penumpang yang tadi menduduki kursi prioritas sudah turun di stasiun ini sehingga kedua ibu PNS itu pun duduk disana. Di belakang kedua ibu itu, ada seorang bapak berumur paruh-baya yang dengan langkah terseok-seok berusaha masuk ke gerbong itu. Tampak kaki bapak itu buntung sebelah. Karena aku tidak berdekatan dengan pintu yang dibuka, aku tak sempat membantu bapak itu untuk naik. Tetapi beliau berjalan menuju ke arahku dan berdiri di sampingku. Hatiku tergerak untuk mencoba mencarikan tempat duduk untuknya. Kulihat kedua ibu PNS tadi yang masih asik mengobrol. Dengan membawa niatan yang baik, aku mencoba meminta satu kursi kosong untuk sang bapak. Tetapi rupanya bapak tua itu membaca pikiranku. Dia menahan gerakanku. Lalu dia berkata, "Sudah, tidak apa-apa, biarkan saja mereka duduk istirahat. Mungkin saja mereka lelah dan penat sehabis bekerja." 

Aku tertegun mendengar perkataan bapak itu, lalu kubalik pernyataan beliau, "Pak, tapi kan bapak memiliki hak prioritas untuk menempati tempat duduk itu." Lalu sang bapak membalas, "Bapak masih kuat untuk berdiri sampai tempat tujuan. Setidaknya, bapak sudah memberikan kebahagiaan untuk orang lain walau hanya untuk sesaat."

Tak terasa, kereta sudah melaju melewati beberapa stasiun. Tinggal satu stasiun lagi dan aku pun harus turun. Setelah berpamitan dengan bapak itu, aku pun melangkahkan kaki keluar dari gerbong kereta. Kata-kata tadi sungguh menghangatkan hatiku. Kupandang sekali lagi langit sore itu. Sinar matahari yang temaram, menambah birunya hatiku untuk melangkahkan kaki keluar dan mensyukuri segala pengalaman yang boleh kuterima pada hari itu. Bapak tua, dua ibu PNS, dan KRL Jakarta Kota-Bekasi sore itu, telah menjadi sahabat bagiku untuk memahami makna kehidupan.