Terjebak dalam sebuah keadaan yang anomie
Mentari itu perlahan-lahan turun dari tahtanya. Ribuan manusia hilir mudik di sebuah peron yang tak cukup luas itu. Tua-muda, laki-laki maupun perempuan silih berganti keluar masuk dari pintu-pintu elektronik yang hanya dibuka dalam tempo waktu yang singkat. Aku pun berdiri di sebuah sudut, menanti sesuatu yang tak pasti. Mata menatap realita yang ada, tetapi mata hati berkeliaran menatap masa-masa silam. Punctum proximum dan punctum remotum menjadi kehilangan batasan ketika suara hati berkeliaran menguasai setiap sistem saraf. Ah, aku termenung di tengah elegi kehidupan.
Jika Marx pernah berkata, agama hanyalah sebuah candu, maka aku dapat menarik kesimpulan bahwa mimpilah yang sesungguhnya sebuah candu. Andrea Hirata hanyalah satu dari sekian juta orang yang beruntung, dimana takdir selaras dengan kekuatan mimpinya. Tetapi tidak banyak manusia-manusia yang dianugerahkan beribu keberuntungan. Kulihat raut yang terpampang pada wajah manusia-manusia yang turun dari rangkaian kotak besi yang silih berganti datang dan pergi. Tergambar jelas banyak keriput yang melambangkan kebosanan akan rutinitas, ataupun kekecewaan yang tak terlepaskan. Gedung-gedung di kawasan CBD kota tiranopolis ini menjadi saksi bisu akan jahanamnya kehidupan. Tembok-tembok tempat menggantungkan papan-papan ilmu menjadi mata yang melihat kerasnya para penuntut ilmu disandera oleh kejamnya sistem yang diimplementasikan lewat kurikulum. Menilik realitas semacam ini, aku kembali bertanya. "Hai mimpi, apakah engkau nyata?"
Aku memutuskan untuk keluar dari peron Stasiun Buaran, dan berjalan menyusuri sisi stasiun yang bersebelahan dengan jalan raya. Langkah demi langkah, aku memperhatikan coret-coretan di dinding bawah Stasiun Buaran. Tembok yang penuh dengan ungkapan kekecewaan. Ah, hati ini kembali bergetar ketika kata-kata cinta yang mendayu-dayu tersembul diantara ungkapan yang lainnya. Terlalu sering hati ini terpapar sinar radiasi sehingga nikmat tak bisa lagi menanggung perih. Kapan? Kapankah hati ini mencapai perihelion, mengapa selalu terjebak dalam posisi aphelion? Sudahlah, tidak ada kata lagi yang sanggup merefleksikan keadaan sore itu.
Kubiarkan semuanya berlalu tanpa kuketahui sesuatu yang pasti
Buaran, 13 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar