Minggu, 22 Maret 2015

Catatan Tengah Mid Semester: Pendidikan adalah Sebuah Ironi

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau"
-Soe Hok Gie-

Kutipan diatas merupakan sebuah seruan, sebuah pernyataan yang menampar (itupun kalau mereka masih punya kepekaan) mereka yang saat ini masih merasa diri sebagai satu-satunya sumber ilmu yang paling benar. Ironisnya, kondisi seperti ini ternyata kerap kali terjadi  di institusi pendidikan di Indonesia,  yang bahkan salah satunya pernah memberikan asupan ilmu nilai-nilai pendidikan bagi sang revolusionis muda ini, hingga saat ini. 

Pernyataan ini bukanlah sebuah gosip tak berdasar semata, tetapi nyata terjadi dan menimpa segelintir, atau bahkan sebagian kalangan kaum intelektualis yang haus akan ilmu. Buku paket yang harusnya menjadi sarana penunjang kegiatan pembelajaran, justru diperlakukan dan disikapi layaknya sebuah kitab suci. Bak seorang fundamentalis tulen, setiap titik dan koma yang ada disana harus disalin seidentik mungkin di lembar jawab ujian, atau remedial menjadi jalan yang harus ditempuh. Pertanyaannnya? Apakah kami, para armada masa depan ini diajarkan untuk hanya sekedar "menyalin" tanpa memahami pemaknaan yang sesungguhnya? Apakah institusi pendidikan dibangun hanya untuk menciptakan mesin-mesin penghafal tanpa nurani dan kemanusiaan?Atau justru arahnya, kami memang dididik untuk menjadi plagiator-plagiator kelas kakap? Tidak heran apabila ada kasus alumnus yang di DO dari universitas karena menjadi seorang plagiator skripsi ketika melihat realitas pendidikan yang ada ternyata memang seperti ini. 

Namun, ternyata tidak semua tenaga pengajar memiliki idealisme kuno seperti ini. Guru Bahasa Indonesia saya di SMA serta mantan guru PKn saya di SMP selalu mengajarkan setiap siswanya untuk bersikap kritis menyikapi setiap permasalahan yang ada. Sikap kritis akan selalu menjadi senjata ampuh untuk menghadapi kondisi sosial masyarakat kita yang kian carut-marut ini. Misalnya, ketika kita bicara soal, bagaimana ketika ideologi Pancasila tidak lagi sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa karena diubah menjadi ideologi tertutup, maka tidak cukup apabila kita hanya tahu apa ciri ideologi terbuka dan apa ciri ideologi tertutup. Tetapi lebih dari itu, kita perlu tahu apa yang menjadi latar belakang penciptaan suatu Ideologi bernafaskan Pancasila, realitas yang ada di masyarakat terkait dengan pemaknaan Pancasila, dan juga proyeksi ke masa depan apabila penyimpangan ini terjadi. Tentu ketiga hal ini tidak akan pernah bisa kita temukan di buku paket karena memang masalah yang dibahas adalah sebuah masalah yang kontekstual. Maka dari itu, penting bagi semuanya, baik siswa maupun staf pengajar untuk memahami masalah kontekstual yang ada di masyarakat supaya sikap kritis selalu bisa dikembangkan di dalam dunia pendidikan. Bukan hanya sekedar text book belaka. 

Menilik kembali apa yang disampaikan oleh Bapak Anies R. Baswedan beberapa waktu lalu dalam seminar pendidikan di SMA Kolese Kanisius, Integritas adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia untuk mencapai sebuah keberhasilan. Pertanyaannya, apakah seorang staf pengajar yang memiliki pemikiran yang tertutup sudah mengimplementasikan integritas dan sudah menjadi role model bagi orang-orang(suka atau tidak suka) yang menjadikan beliau panutan? 

Efek jangka pendeknya tentu akan banyak pemikiran-pemikiran brilian yang dipaparkan siswa di kertas ulangan, akan dihantam semena-mena saja dengan nilai-nilai yang menuntunnya menuju ke kelas remedial. Selain itu, akan terpupuk rasa benci yang akhirnya akan terakumulasi dan menimbulkan luka batin bagi banyak siswa yang diajarnya. Tetapi yang lebih menyesakkan lagi, dalam jangka panjang, para siswa secara sadar maupun tidak sadar akan dibimbing menuju kemunduran pemikiran. Siswa tidak diajak lagi untuk berpikir kritis dalam menganalisis situasi-situasi sosial yang konkret terjadi. Akibatnya, bahaya laten degradasi intelektualitas terus membayang-bayangi kaum muda saat ini. 

Dalam hemat saya sebagai seorang siswa biasa, diperlukan sebuah komunikasi yang intens antara siswa dengan staf pengajar terkait metode pembelajaran serta topik-topik yang hangat yang menjadi polemik masyarakat saat ini. Tidak cukup berhenti disana, tetapi dalam rubrik penilaian, siswa juga disosialisasikan apa yang menjadi kriteria-kriteria penilaian(terutama soal esai), supaya objektivitas dapat dirasakan baik guru dan siswa. Selain itu, soal-soal yang bersifat ambigu juga sebaiknya dipertimbangkan kembali apakah sudah sesuai. Terakhir, perlu diadakan audiensi-audiensi terjadwal supaya apa yang dijabarkan diatas dapat terealisasi. 

Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya, kalau mengkritik, kenapa tidak langsung ke orangnya saja. Maka saya tekankan, SUDAH. Dan ketidakpuasanlah yang didapatkan. Maka, ketika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja.

1 komentar:

  1. Buku paket, buku yang diagung-agungkan oleh instansi pendidikan sampai pada titik komanya. Pola pemikiran tersebut telah tertanam sedemikian rupa. Tapi kunci permasalahan intelektual anak bangsa adalah buku itu sendiri. Berdasarkan kurikulum, 'kitab suci' itu dibuat. Di dalam kurikulum, tampaklah hal yang diharapkan oleh para pemangku bangsa pada generasi penerusnya. Akan dibentuk seperti apakah mereka? Terpampang jelas pada kurikulum. Jadi, apakah hanya para 'pendidik bak dewa' yang harus disalahkan? Ataukah keseluruhan sistem itu sendiri?

    Ketika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja.
    Ataukah lebih baik menjadi MARTIR?

    Salam kenal, Rahayu, seruan bisu representasi kelas 9C sebuah SMP di Bogor.

    BalasHapus