Senin, 23 Maret 2015

Catatan Tengah Ujian: Senja di Menteng Raya (Competence?)

Lorong ilmu itu nampak mulai kehilangan keriuh-rendahannya ketika matahari mulai berangsur turun dari atas kepala. Ya, satu per satu, para armada masa depan melangkah meninggalkan kolese kami. Hanya tersisa beberapa pasang mata yang masih setia dengan segala macam tugas dan tanggung jawabnya, yang rela tetap tinggal disana. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul tiga petang. Di ruang yang "katanya" sarat akan penggemblengan "kepemimpinan ala Ignasian" itu, hanya tersisa lima manusia, antara lain ada Matheus dan William, kedua sahabat yang selalu menjadi inspirasi sekaligus antitesis bagiku. Karena kami sudah lelah, Matheus pun mengajak aku dan William untuk melepas penat di salah satu resto dekat sekolah kami. 

Kami bertiga berjalan menuju resto tersebut, dan langsung memesan menu yang paling sederhana, setidaknya cukup dan sesuai bagi kantong anak SMA seperti kami. Sambil menunggu pesanan, pembicaraan pun mulai dibuka. Mulai dari yang ngalor-ngidul, hingga yang idealis sekalipun terlontar menjadi topik pembicaraan kami. Dengan berapi-api, kami saling bicara soal visi dengan berlandaskan idealisme masing-masing. Ah, sungguh masa-masa paling bermakna ketika kami yang "katanya" calon pemimpin masa depan mulai saling beradu argumentasi karena ketidaksesuaian pendapat. 

Dari berbagai hal yang dibicarakan, ada satu yang meninggalkan kesan mendalam bagiku dalam perbincangan itu, tentang bagaimana 3C menjadi sesuatu yang ambigu bagi kanisian. Bicara soal competence bukanlah hal yang asing lagi di telinga para anggota kanisian. Tetapi kembali dipertanyakan, apakah esensi dari competence itu sendiri? Apakah competence adalah melulu soal nilai-nilai akademik? Tak pelak lagi, inilah konsepsi yang sudah tertanam di benak para kanisian. Ketika ditanya, apa itu competence? Jawabannya pun singkat: kepandaian, kepintaran, terutama dalam nilai-nilai pelajaran (akademik). Tetapi ketika kita menilik lagi lebih jauh makna competence yang sesungguhnya, nilai, kepandaian, dan kepintaran di bidang akademik hanyalah satu elemen kecil dari makna competence yang lebih hakiki. Bagiku, competence adalah soal kemampuan bernalar, berlogika, menyelesaikan masalah dengan cerdas dan cermat, efektif dan efisien. Mereka yang tidak memiliki nilai superior bukan berarti tidak memilikicompetence. Bagiku, competence skill terlihat jelas ketika ada kegiatan-kegiatan di sekolah, bagaimana kami para panitia berpikir keras menyelesaikan target-target dengan deadline yang menantang. Dan selanjutnya, competence tidak akan berarti apa-apa tanpa dikolaborasikan dengan dua "C" yang lain, conscience dan compassion. Maka dari itu, agak aneh ketika dalam pelajaran agama yang lalu, kami diminta membuat refleksi tentang masing-masing "C" yang ada secara terpisah-pisah. Apa artinya competence tanpa hati nurani dan kepedulian? 

Ah, lucu memang ketika kami para kaum muda mencoba membicarakan hal yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Lucu ketika banyak dari kami yang sudah mengenyam pendidikan di Kolese Kanisius selama hampir tiga tahun, atau bahkan enam tahun, masih memaknai competence sebagai sesuatu yang identik dengan nilai akademik. Kembali kami pertanyakan, apakah proses penanaman nilai di SMA Kanisius sudah benar-benar dilakukan dengan baik, terutama dengan prinsip cura personalisnya? Apakah siswa hanya sekedar dicekoki materi-materi pelajaran setiap hari demi mempertahankan titel PERINGKAT PERTAMA UJIAN NASIONAL? Selanjutnya kita hanya tenggelam dalam popularitas semata, membanggakan alumni Kanisius dengan nama besarnya, padahal belum tentu mereka mendapatkan titik tolak kesuksesannya di kolese ini. Lalu, kemana larinya dua "C" yang lain? Terkubur dalam hijaunya rumput lapangan sepakbola?

Tak terasa hari sudah senja, matahari sudah kembali ke ufuk barat. Dua jam yang cukup berharga bagiku hari itu. Mungkin kami hanya tiga anak biasa yang berbicara hal-hal yang tidak biasai. Tetapi bagiku yang terpenting adalah kemauan untuk peduli dengan kenyataan dan permasalahan yang ada di sekitar kita. Bukan angkat tangan dan lari dari kenyataan, tetapi turun tangan dan bergerak memperbaiki masa depan. 

Untuk mengubah dunia ini hanya dibutuhkan KESANGGUPAN. Sekalipun kesanggupan itu datangnya hanya dari 1 (satu) orang saja; KESANGGUPANKU
-John Gowhere-

Di hari kasih sayang,
14 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar