Stasiun Gondangdia petang itu tidak terlalu ramai. Maklum, hari ini adalah hari Sabtu. Seperti biasa, aku menunggu di peron jalur 2, menanti kedatangan KRL Commuter jurusan Jakarta Kota-Bekasi yang selalu kutumpangi untuk pulang ke rumah. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kereta pun tiba di stasiun Gondangdia.
Ketika masuk ke dalam gerbong, penumpang tidak terlalu penuh. Aku tidak perlu bersesak-sesakan untuk naik. Tetapi nampaknya aku kurang beruntung. Semua kursi penumpang sudah terisi. Akhirnya aku pun harus berdiri. Lepas dari stasiun Gondangdia, aku menikmati pemandangan yang kuamati lewat jendela. Pesona langit sore yang berwarna jingga, dipadu dengan guratan-guratan tipis awan, serta sinar yang dipancarkan oleh gedung-gedung bertingkat di kawasan Kuningan dan Sudirman menambah nikmatnya keindahan sore itu.
Tak lama berselang, tibalah kereta di Stasiun Cikini. Dari arah peron, masuklah dua PNS dengan tergesa-gesa sambil berbincang seorang dengan yang lain. Kebetulan, dua orang penumpang yang tadi menduduki kursi prioritas sudah turun di stasiun ini sehingga kedua ibu PNS itu pun duduk disana. Di belakang kedua ibu itu, ada seorang bapak berumur paruh-baya yang dengan langkah terseok-seok berusaha masuk ke gerbong itu. Tampak kaki bapak itu buntung sebelah. Karena aku tidak berdekatan dengan pintu yang dibuka, aku tak sempat membantu bapak itu untuk naik. Tetapi beliau berjalan menuju ke arahku dan berdiri di sampingku. Hatiku tergerak untuk mencoba mencarikan tempat duduk untuknya. Kulihat kedua ibu PNS tadi yang masih asik mengobrol. Dengan membawa niatan yang baik, aku mencoba meminta satu kursi kosong untuk sang bapak. Tetapi rupanya bapak tua itu membaca pikiranku. Dia menahan gerakanku. Lalu dia berkata, "Sudah, tidak apa-apa, biarkan saja mereka duduk istirahat. Mungkin saja mereka lelah dan penat sehabis bekerja."
Aku tertegun mendengar perkataan bapak itu, lalu kubalik pernyataan beliau, "Pak, tapi kan bapak memiliki hak prioritas untuk menempati tempat duduk itu." Lalu sang bapak membalas, "Bapak masih kuat untuk berdiri sampai tempat tujuan. Setidaknya, bapak sudah memberikan kebahagiaan untuk orang lain walau hanya untuk sesaat."
Tak terasa, kereta sudah melaju melewati beberapa stasiun. Tinggal satu stasiun lagi dan aku pun harus turun. Setelah berpamitan dengan bapak itu, aku pun melangkahkan kaki keluar dari gerbong kereta. Kata-kata tadi sungguh menghangatkan hatiku. Kupandang sekali lagi langit sore itu. Sinar matahari yang temaram, menambah birunya hatiku untuk melangkahkan kaki keluar dan mensyukuri segala pengalaman yang boleh kuterima pada hari itu. Bapak tua, dua ibu PNS, dan KRL Jakarta Kota-Bekasi sore itu, telah menjadi sahabat bagiku untuk memahami makna kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar