Minggu, 29 Maret 2015

Catatan Minggu Palma: Hikayat Mimpi dan Realita

Hidup, seperti perahu yang terombang-ambing, terkoyak diantara gelombang yang tak jelas arah pastinya. Sistem navigasi, layaknya filosofi hidup yang mendasari arah dan tujuan kemana kita akan berakhir. Tetapi kita tak pernah tahu, kemana sang nasib menghanyutkan perahu ini. 

Hidup, layaknya jam yang berdetak dengan pasti. Tetapi kita tak pernah tahu, apakah detik demi detik yang kita lalui selalu punya makna? Aku ingin memutarbalikkan rotasi jam yang tanpa pernah kasihan mendentumkan masa depan satu persatu tanpa kepastian. Wallahualam. 

Mimpi, dan realita. Dua hal yang sebenarnya tak jelas lagi batasnya. Belajar untuk berharap, entah sampai kapan hidup ini terus dicekoki oleh mulusnya kulit apel, tanpa kita pernah tahu belatung yang ada di dalamnya. 

Idealisme, hanyalah pisau bermata dua yang siap merobek rajutan mimpi-mimpi yang rapuh. Entah sampai kapan, aku berhenti menggantungkan hidup pada mimpi. Entah sampai kapan, aku memulai meletakkan segala luka, nanah, borok, yang tak lagi mampu diobati ke dalam lingkaran realita. 

Kepasrahan, hanyalah jalan tengah untuk manusia-manusia tak tahu arah. Hanya untuk mereka yang terjebak di dalam himpitan mimpi dan realita. Hai mimpi, berapa lama lagi engkau memberikan kekuatan-kekuatan asap bagi cinta dan masa depan. Hai realita, masih adakah separuh buah simalakama yang mau kau bagikan kepadaku?

Kalau aku Ahmad Fuadi....
Andai aku Andrea Hirata....
Aku akan pergi menemui Tuhan untuk meminta ampunan atas semua kebohongan

Ah, semuanya telah bergulir dengan percuma
Kusandarkan semua yang ada padaku pada keilahian

Jakarta, 29 Maret 2015

Senin, 23 Maret 2015

Catatan Perjalanan KRL : Mata Hati untuk Berbagi

GONDANGDIA-(20/3/2015). Siang yang biasa di Stasiun Gondangdia. Aku bersama para rekan sejawatku di SMA Kanisius kembali memasuki Stasiun ini untuk menggunakan moda transportasi yang biasa kami gunakan sepulang sekolah, KRL Commuter Line. Setelah melakukan aktivitas "biasa" disana, kami memutuskan untuk naik ke lantai 3 Stasiun Gondangdia alias ke area peron. 

Seperti biasa, kami ngobrol sembari menunggu kedatangan kereta JakartaKota-Bekasi ataupun JakartaKota-Bogor. Kebetulan saat itu, kereta menuju Bogor lebih dahulu tiba di Gondangdia sehingga aku memutuskan untuk naik kereta jurusan Bogor agar bisa tiba lebih cepat via Stasiun Tebet. Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya kereta jurusan Bogor pun tiba. Aku pun melangkahkan kaki naik ke dalam gerbong dengan tergesa-gesa. Tak sadar, ada seorang pria tunanetra mencoba naik ke kereta. Beruntung, teman-temanku yang masih di peron membantu beliau untuk naik seraya memanggil namaku untuk membantu beliau mencarikan kursi. 

Aku menggandeng tangan bapak tersebut. Kegusaran beliau terlukis jelas dari raut wajahnya. Aku mencoba menanyakan tujuan beliau. Ternyata, beliau ingin pergi ke stasiun Depok. Kereta siang itu tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak sepi sehingga aku harus membawa sang bapak ke kursi prioritas di setiap pojok-pojok gerbong. Sementara ia duduk, aku berdiri disamping beliau, menatap wajahnya yang penuh harap. 

Perlahan, roda-roda KRL mulai bergulir. Stasiun demi stasiun pun dilalui dengan pasti. Tak terasa, aku pun hampir tiba di Stasiun Tebet, tujuanku. Aku pun segera pamit dengan sang bapak tunanetra itu. 

Kasih. Ya, walaupun hanya sekejap perjalanan Gondangdia-Tebet, aku ingin mencoba berbagi sesuatu yaitu kepedulianku dalam wujud perhatian. Terkadang, berbagi kasih tidaklah harus melalui sesuatu yang luar biasa. Lewat pengalaman sederhana, aku merasa Tuhan sedang bekerja menyentuh hatiku untuk lebih banyak lagi berbagi. 

Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk menyentuh hati nurani

Jakarta, 23 Maret 2015

Catatan Tengah Ujian : Senja di Stasiun Buaran

Terjebak dalam sebuah keadaan yang anomie

Mentari itu perlahan-lahan turun dari tahtanya. Ribuan manusia hilir mudik di sebuah peron yang tak cukup luas itu. Tua-muda, laki-laki maupun perempuan silih berganti keluar masuk dari pintu-pintu elektronik yang hanya dibuka dalam tempo waktu yang singkat. Aku pun berdiri di sebuah sudut, menanti sesuatu yang tak pasti. Mata menatap realita yang ada, tetapi mata hati berkeliaran menatap masa-masa silam. Punctum proximum dan punctum remotum menjadi kehilangan batasan ketika suara hati berkeliaran menguasai setiap sistem saraf. Ah, aku termenung di tengah elegi kehidupan. 

Jika Marx pernah berkata, agama hanyalah sebuah candu, maka aku dapat menarik kesimpulan bahwa mimpilah yang sesungguhnya sebuah candu. Andrea Hirata hanyalah satu dari sekian juta orang yang beruntung, dimana takdir selaras dengan kekuatan mimpinya. Tetapi tidak banyak manusia-manusia yang dianugerahkan beribu keberuntungan. Kulihat raut yang terpampang pada wajah manusia-manusia yang turun dari rangkaian kotak besi yang silih berganti datang dan pergi. Tergambar jelas banyak keriput yang melambangkan kebosanan akan rutinitas, ataupun kekecewaan yang tak terlepaskan. Gedung-gedung di kawasan CBD kota tiranopolis ini menjadi saksi bisu akan jahanamnya kehidupan. Tembok-tembok tempat menggantungkan papan-papan ilmu menjadi mata yang melihat kerasnya para penuntut ilmu disandera oleh kejamnya sistem yang diimplementasikan lewat kurikulum. Menilik realitas semacam ini, aku kembali bertanya. "Hai mimpi, apakah engkau nyata?"

Aku memutuskan untuk keluar dari peron Stasiun Buaran, dan berjalan menyusuri sisi stasiun yang bersebelahan dengan jalan raya. Langkah demi langkah, aku memperhatikan coret-coretan di dinding bawah Stasiun Buaran. Tembok yang penuh dengan ungkapan kekecewaan. Ah, hati ini kembali bergetar ketika kata-kata cinta yang mendayu-dayu tersembul diantara ungkapan yang lainnya. Terlalu sering hati ini terpapar sinar radiasi sehingga nikmat tak bisa lagi menanggung perih. Kapan? Kapankah hati ini mencapai perihelion, mengapa selalu terjebak dalam posisi aphelion? Sudahlah, tidak ada kata lagi yang sanggup merefleksikan keadaan sore itu. 

Kubiarkan semuanya berlalu tanpa kuketahui sesuatu yang pasti

Buaran, 13 Maret 2015

Catatan Tengah Ujian: Senja di Menteng Raya (Competence?)

Lorong ilmu itu nampak mulai kehilangan keriuh-rendahannya ketika matahari mulai berangsur turun dari atas kepala. Ya, satu per satu, para armada masa depan melangkah meninggalkan kolese kami. Hanya tersisa beberapa pasang mata yang masih setia dengan segala macam tugas dan tanggung jawabnya, yang rela tetap tinggal disana. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul tiga petang. Di ruang yang "katanya" sarat akan penggemblengan "kepemimpinan ala Ignasian" itu, hanya tersisa lima manusia, antara lain ada Matheus dan William, kedua sahabat yang selalu menjadi inspirasi sekaligus antitesis bagiku. Karena kami sudah lelah, Matheus pun mengajak aku dan William untuk melepas penat di salah satu resto dekat sekolah kami. 

Kami bertiga berjalan menuju resto tersebut, dan langsung memesan menu yang paling sederhana, setidaknya cukup dan sesuai bagi kantong anak SMA seperti kami. Sambil menunggu pesanan, pembicaraan pun mulai dibuka. Mulai dari yang ngalor-ngidul, hingga yang idealis sekalipun terlontar menjadi topik pembicaraan kami. Dengan berapi-api, kami saling bicara soal visi dengan berlandaskan idealisme masing-masing. Ah, sungguh masa-masa paling bermakna ketika kami yang "katanya" calon pemimpin masa depan mulai saling beradu argumentasi karena ketidaksesuaian pendapat. 

Dari berbagai hal yang dibicarakan, ada satu yang meninggalkan kesan mendalam bagiku dalam perbincangan itu, tentang bagaimana 3C menjadi sesuatu yang ambigu bagi kanisian. Bicara soal competence bukanlah hal yang asing lagi di telinga para anggota kanisian. Tetapi kembali dipertanyakan, apakah esensi dari competence itu sendiri? Apakah competence adalah melulu soal nilai-nilai akademik? Tak pelak lagi, inilah konsepsi yang sudah tertanam di benak para kanisian. Ketika ditanya, apa itu competence? Jawabannya pun singkat: kepandaian, kepintaran, terutama dalam nilai-nilai pelajaran (akademik). Tetapi ketika kita menilik lagi lebih jauh makna competence yang sesungguhnya, nilai, kepandaian, dan kepintaran di bidang akademik hanyalah satu elemen kecil dari makna competence yang lebih hakiki. Bagiku, competence adalah soal kemampuan bernalar, berlogika, menyelesaikan masalah dengan cerdas dan cermat, efektif dan efisien. Mereka yang tidak memiliki nilai superior bukan berarti tidak memilikicompetence. Bagiku, competence skill terlihat jelas ketika ada kegiatan-kegiatan di sekolah, bagaimana kami para panitia berpikir keras menyelesaikan target-target dengan deadline yang menantang. Dan selanjutnya, competence tidak akan berarti apa-apa tanpa dikolaborasikan dengan dua "C" yang lain, conscience dan compassion. Maka dari itu, agak aneh ketika dalam pelajaran agama yang lalu, kami diminta membuat refleksi tentang masing-masing "C" yang ada secara terpisah-pisah. Apa artinya competence tanpa hati nurani dan kepedulian? 

Ah, lucu memang ketika kami para kaum muda mencoba membicarakan hal yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Lucu ketika banyak dari kami yang sudah mengenyam pendidikan di Kolese Kanisius selama hampir tiga tahun, atau bahkan enam tahun, masih memaknai competence sebagai sesuatu yang identik dengan nilai akademik. Kembali kami pertanyakan, apakah proses penanaman nilai di SMA Kanisius sudah benar-benar dilakukan dengan baik, terutama dengan prinsip cura personalisnya? Apakah siswa hanya sekedar dicekoki materi-materi pelajaran setiap hari demi mempertahankan titel PERINGKAT PERTAMA UJIAN NASIONAL? Selanjutnya kita hanya tenggelam dalam popularitas semata, membanggakan alumni Kanisius dengan nama besarnya, padahal belum tentu mereka mendapatkan titik tolak kesuksesannya di kolese ini. Lalu, kemana larinya dua "C" yang lain? Terkubur dalam hijaunya rumput lapangan sepakbola?

Tak terasa hari sudah senja, matahari sudah kembali ke ufuk barat. Dua jam yang cukup berharga bagiku hari itu. Mungkin kami hanya tiga anak biasa yang berbicara hal-hal yang tidak biasai. Tetapi bagiku yang terpenting adalah kemauan untuk peduli dengan kenyataan dan permasalahan yang ada di sekitar kita. Bukan angkat tangan dan lari dari kenyataan, tetapi turun tangan dan bergerak memperbaiki masa depan. 

Untuk mengubah dunia ini hanya dibutuhkan KESANGGUPAN. Sekalipun kesanggupan itu datangnya hanya dari 1 (satu) orang saja; KESANGGUPANKU
-John Gowhere-

Di hari kasih sayang,
14 Februari 2015

Catatan Pasca Ujian : Senja di Utara Jakarta

Hati terasa sepi ketika melihat untaian aksara berbaris diatas selembar kertas putih. Terkesiap, sesuatu di dunia ini tak pernah ada yang pasti. Sejenak aku menghela napas sebelum kuputuskan untuk keluar dari ruang nestapa itu. Ah, satu cobaan yang kulewati lagi minggu ini.

Masa depan layaknya butir-butir pertanyaan ulangan akuntansi, terombang-ambing diantara dua kepastian. Remedial, atau lulus. Tetapi sayangnya hidup ini tak ada remedialnya. Terdesak didalam keadaan subsisten. Tetapi waktu terus bergulir dengan sadisnya tanpa pernah punya kasihan. Setiap detik memiliki jutaan arti yang tak pernah mampu diungkap oleh manusia.

Hidup itu layaknya sebuah bola yang dimainkan oleh seorang anak balita, yang menjadi representasi dari Tuhan. Dan kita adalah seekor tikus yang terjebak di dalam bola itu. Ketika bola itu ditendang, kita bisa terpental ke posisi puncak, atau bahkan terjerembab ke dasar bola itu.

Hari ini, aku melihat secercah harapan. Aku bukan lagi tikus di dalam bola. Hidup menjadi sesuatu yang penuh makna ketika syukur menjadi senapan untuk melawan setiap kesedihan, kemalangan, dan keputus asaan, serta harapan menjadi peluru yang siap menembus masa depan.

Di dalam segala kerisauan itu, aku berjalan melangkah, menatap masa depan. Aku ingin menantang angin, menerjang ombak, menembus setiap asa yang kubangun di dalam sebuah utopia kehidupan yang disebut cita-cita. Dan yang paling penting dari semuanya itu, aku diciptakan untuk menjadi garam dunia, yang larut tetapi tidak hanyut.

Bidukku kan kukayuh menyebrang samudra demi kandas di taman surga. 

7 Februari 2015

Minggu, 22 Maret 2015

Catatan Malam Natal: Sekotak Nasi di Lampu Merah

Malam Natal, merupakan salah satu hari paling sakral bagiku. Tidak hanya secara spiritual, aku disegarkan kembali tentang makna kelahiran Yesus sang penyelamat, tetapi dari segi sosial, malam natal merupakan saat dimana keluargaku berkumpul didalam makan malam, entah di rumah secara sederhana, ataupun sekedar santap malam di restoran sekitar Gereja. 

Malam itu, 24 Desember 2014, aku mengikuti misa malam natal di Kolese Kanisius. Sepulang misa, aku bersama keluargaku memutuskan untuk makan di salah satu restoran favorit kami di sekitaran Gondangdia. Hanya terucap rasa syukur karena aku hampir mencapai penghujung tahun 2014 dengan pelbagai pengalaman yang membangun setiap sisi dari pribadiku. 

Didalam perjalanan menuju rumah selepas makan malam, kami melewati pertigaan Salemba, dekat RS Sint Carolus dan RSUP Ciptomangunkusumo. Sambil menikmati alunan lagu-lagu natal dari Michael Buble, aku memperhatikan situasi jalanan malam itu. Tidak ramai, namun juga tidak terlampau sepi. Kerlap-kerlip lampu yang saling bergantian akibat rem dari mobil-mobil itu menciptakan sebuah harmonisasi yang indah di dalam imajinasiku. Ahh.., Christmas Eve....

Di dalam lamunanku, tiba-tiba aku tersentak dengan kehadiran seorang anak kecil membawa gitar kecil, mengamen dari satu mobil ke mobil lain, mencoba mengumpulkan receh demi receh. Hingga akhirnya, anak itu tiba di mobil samping kiriku. Tak kusangka, sang pengemudi tidak bersikap seperti pengemudi lainnya. Ia mengeluarkan sebungkus tas kresek berwarna merah berisi sekotak nasi. Aku tersentak, iseng, kubuka sedikit kaca jendela mobilku agar bisa melihat lebih jelas kejadian ini. Kulihat lebih lanjut lagi, seorang ibu berjilbab yang duduk di belakang sang sopir juga mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribuan, dan sekotak nasi, lalu memberikannya kepada anak itu. Kudengar sang ibu sempat berbicara. "Ini dek, sesekali pas Natal, makan yang lahap ya...". 

Hatiku tersentuh oleh kejadian itu. Malam Natal, malam dimana sang juruselamat (menurut umat Kristiani) lahir. Malam dimana kami umat Kristiani merayakan salah satu hari sakral, entah dengan makan mewah bersama, atau pergi liburan. Tetapi terkadang kita lupa, bahwa masih banyak sesama manusia yang berkekurangan. Wajah cerah nan gembira anak kecil di lampu merah itu menjadi bukti nyata, buah cinta kasih yang telah ditanam oleh sang ibu dan bapak yang mau berbagi, meskipun sederhana, meskipun mereka sesungguhnya tidak merayakan Natal. Tetapi mereka memahami, esensi, inti sari dari Natal itu sendiri. Yaitu untuk membagi kabar sukacita kepada semua orang. Layaknya Yesus yang datang ke dunia membawa kabar suka cita. Bukan untuk mereka yang kaya raya, punya jabatan, atau bekerja di tempat suci. Tetapi buat mereka yang berkekurangan, yang terlantar, yang tersingkirkan. 

Malam itu, ibu berjilbab dan sang sopir yang memberikan sekotak nasi kepada sang pengamen cilik di lampu merah Salemba pada malam natal itu, adalah representasi Yesus yang datang dan mau mengetuk nurani dan kepedulianku. 

Catatan Tanpa Kategori: Hikayat Dua Manusia

"There ain't no mountain high enough
Ain't no valley low enough
Ain't no river wide enough
To keep me from getting to you"

Nada-nada dan lirik lagu tersebut terus bergeming di telingaku ketika sore itu, aku sedang asyik memandangi setiap guratan wajah yang terpampang melalui layar monitorku. Satu album penuh kusimpan baik-baik setiap potret diri yang bermunculan dari berbagai sumber. Bahkan, waktu pun tak mampu mengurai setiap partikel yang menggambarkan keindahan yang esensial darimu. 

Ah....
Apakah ini yang dinamakan cinta (?). Bahkan, deretan angka McLaurin pun tak sanggup mendefinisikan perasaan ini sebagaimana itu selalu mampu menyelesaikan setiap persoalan diferensial. Kunikmati setiap detik yang berdetak dari arloji diatas meja komputerku. 

Tiba-tiba saja, kuterima panggilan Skype dari sahabatku nun jauh disana. Ada apa gerangan? Malam itu, jam dinding di kamarku menunjukkan angka pukul 18.23. Jika kuhitung, dia mengajakku untuk bicara pada pukul 03.23 subuh waktu setempat. Kuterima panggilan darinya dan kutanyakan kabarnya. Ah, ratapan keputus asaan mewarnai setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Malam itu, langit pun serasa berubah menjadi biru melambangkan kesenduan yang dialami. Aku pun ikut terbawa emosi sesaat itu. Ya, bukan masalah sepele yang sedang kawan karibku hadapi. Cinta. Kembali engkau yang menjadi biang keladi dari kekacauan yang menimpa sahabatku ini. Cinta tak selamanya indah. Cinta tak selamanya penuh gairah. Cinta yang dialami sahabatku ini, justru membawanya pada kelabu yang merekah di lubuk hatinya. Dengan pengetahuan yang seadanya, kuluncurkan setiap aspirasi dan saran yang ada di otakku dengan penuh ke sok tahuan. Layaknya balon gas yang angkuh, mencoba menerka setiap alamat rumah dari para penunggangnya yang entah datang dari negeri utopia atau negeri lucifer. Kututup panggilan malam itu dengan kata "SABAR". 

Kulanjutkan kembali untuk memandangi untaian karya Tuhan nan indah melalui potret dirinya. Namun malam itu, hatiku sudah layaknya Planet Jupiter. Aku hanya bisa mengikuti kecamuk yang muncul dalam hatiku. Layaknya kisah Siti Nurbaya, ada pelbagai pergolakan yang muncul untuk memperjuangkan perasaanku. Ditanbah dengan kisah yang baru saja kudengarkan dari sahabatku membikin hatiku mulai tergerus oleh ranah koginitif yang dapat menghancurkan semangat yang sejak dulu kutanam. "Inikah yang dinamakan cinta?".

Playlistku berlanjut ke lagu berikutnya. Dan aku menyadari bahwa semangatku kembali tumbuh meskipun ada berbagai rintangan yang mungkin akan terus menerpa, sebab ada sebuah target yang ingin kucapai. 

"Seni kehidupan adalah ketika kita berjuang dalam situasi yang sulit". -Shirin Ebadi-

Climb every mountain,
Search high and low,
Follow every byway,
Every path you know.

Climb every mountain,
Ford every stream,
Follow every rainbow,
'Till you find your dream.

A dream that will need
All the love you can give,
Every day of your life
For as long as you live.

Climb every mountain,
Ford every stream,
Follow every rainbow,
Till you find your dream

Catatan Tengah Mid Semester: Pendidikan adalah Sebuah Ironi

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau"
-Soe Hok Gie-

Kutipan diatas merupakan sebuah seruan, sebuah pernyataan yang menampar (itupun kalau mereka masih punya kepekaan) mereka yang saat ini masih merasa diri sebagai satu-satunya sumber ilmu yang paling benar. Ironisnya, kondisi seperti ini ternyata kerap kali terjadi  di institusi pendidikan di Indonesia,  yang bahkan salah satunya pernah memberikan asupan ilmu nilai-nilai pendidikan bagi sang revolusionis muda ini, hingga saat ini. 

Pernyataan ini bukanlah sebuah gosip tak berdasar semata, tetapi nyata terjadi dan menimpa segelintir, atau bahkan sebagian kalangan kaum intelektualis yang haus akan ilmu. Buku paket yang harusnya menjadi sarana penunjang kegiatan pembelajaran, justru diperlakukan dan disikapi layaknya sebuah kitab suci. Bak seorang fundamentalis tulen, setiap titik dan koma yang ada disana harus disalin seidentik mungkin di lembar jawab ujian, atau remedial menjadi jalan yang harus ditempuh. Pertanyaannnya? Apakah kami, para armada masa depan ini diajarkan untuk hanya sekedar "menyalin" tanpa memahami pemaknaan yang sesungguhnya? Apakah institusi pendidikan dibangun hanya untuk menciptakan mesin-mesin penghafal tanpa nurani dan kemanusiaan?Atau justru arahnya, kami memang dididik untuk menjadi plagiator-plagiator kelas kakap? Tidak heran apabila ada kasus alumnus yang di DO dari universitas karena menjadi seorang plagiator skripsi ketika melihat realitas pendidikan yang ada ternyata memang seperti ini. 

Namun, ternyata tidak semua tenaga pengajar memiliki idealisme kuno seperti ini. Guru Bahasa Indonesia saya di SMA serta mantan guru PKn saya di SMP selalu mengajarkan setiap siswanya untuk bersikap kritis menyikapi setiap permasalahan yang ada. Sikap kritis akan selalu menjadi senjata ampuh untuk menghadapi kondisi sosial masyarakat kita yang kian carut-marut ini. Misalnya, ketika kita bicara soal, bagaimana ketika ideologi Pancasila tidak lagi sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa karena diubah menjadi ideologi tertutup, maka tidak cukup apabila kita hanya tahu apa ciri ideologi terbuka dan apa ciri ideologi tertutup. Tetapi lebih dari itu, kita perlu tahu apa yang menjadi latar belakang penciptaan suatu Ideologi bernafaskan Pancasila, realitas yang ada di masyarakat terkait dengan pemaknaan Pancasila, dan juga proyeksi ke masa depan apabila penyimpangan ini terjadi. Tentu ketiga hal ini tidak akan pernah bisa kita temukan di buku paket karena memang masalah yang dibahas adalah sebuah masalah yang kontekstual. Maka dari itu, penting bagi semuanya, baik siswa maupun staf pengajar untuk memahami masalah kontekstual yang ada di masyarakat supaya sikap kritis selalu bisa dikembangkan di dalam dunia pendidikan. Bukan hanya sekedar text book belaka. 

Menilik kembali apa yang disampaikan oleh Bapak Anies R. Baswedan beberapa waktu lalu dalam seminar pendidikan di SMA Kolese Kanisius, Integritas adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia untuk mencapai sebuah keberhasilan. Pertanyaannya, apakah seorang staf pengajar yang memiliki pemikiran yang tertutup sudah mengimplementasikan integritas dan sudah menjadi role model bagi orang-orang(suka atau tidak suka) yang menjadikan beliau panutan? 

Efek jangka pendeknya tentu akan banyak pemikiran-pemikiran brilian yang dipaparkan siswa di kertas ulangan, akan dihantam semena-mena saja dengan nilai-nilai yang menuntunnya menuju ke kelas remedial. Selain itu, akan terpupuk rasa benci yang akhirnya akan terakumulasi dan menimbulkan luka batin bagi banyak siswa yang diajarnya. Tetapi yang lebih menyesakkan lagi, dalam jangka panjang, para siswa secara sadar maupun tidak sadar akan dibimbing menuju kemunduran pemikiran. Siswa tidak diajak lagi untuk berpikir kritis dalam menganalisis situasi-situasi sosial yang konkret terjadi. Akibatnya, bahaya laten degradasi intelektualitas terus membayang-bayangi kaum muda saat ini. 

Dalam hemat saya sebagai seorang siswa biasa, diperlukan sebuah komunikasi yang intens antara siswa dengan staf pengajar terkait metode pembelajaran serta topik-topik yang hangat yang menjadi polemik masyarakat saat ini. Tidak cukup berhenti disana, tetapi dalam rubrik penilaian, siswa juga disosialisasikan apa yang menjadi kriteria-kriteria penilaian(terutama soal esai), supaya objektivitas dapat dirasakan baik guru dan siswa. Selain itu, soal-soal yang bersifat ambigu juga sebaiknya dipertimbangkan kembali apakah sudah sesuai. Terakhir, perlu diadakan audiensi-audiensi terjadwal supaya apa yang dijabarkan diatas dapat terealisasi. 

Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya, kalau mengkritik, kenapa tidak langsung ke orangnya saja. Maka saya tekankan, SUDAH. Dan ketidakpuasanlah yang didapatkan. Maka, ketika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja.

Catatan Pra Mid Semester : Ayam Bakar Kecap dan Es Teh Manis

Hari itu (26/9/2014), aku bersama seorang sahabatku berniat untuk pergi ke salah satu kantor di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Kami berniat untuk meminta informasi terkait dengan persiapan tes IELTS untuk perguruan tinggi. Pukul 13.30 kami berdua berangkat menuju ke kawasan tersebut dengan menumpang Kopaja P20. Sesampainya disana, kami lalu menghabiskan waktu hingga pukul 15.

Seleseai dengan urusan informasi, kami memutuskan untuk makan di daerah tersebut. Karena kami berada di kawasan perkantoran dan tidak ada kios makanan kaki lima yang ada di sekitar tempat itu, maka kami harus berjalan sekitar 5 menit untuk menuju ke salah satu sentra penjual makanan kaki lima. Ada berbagai macam pilihan mulai dari soto hingga hik solo. Tetapi akhirnya kami pun memutuskan untuk makan di salah satu kios ayam bakar. Akhirnya, kami pun memesan dua porsi ayam bakar kecap dengan minum es teh manis. 

Ketika kami sedang asyik berbincang, tiba-tiba datang seorang pemuda yang menjajakan sendal dan sepatu. Kami pun menolak dengan halus tawaran beliau untuk membeli karena memang kami sedang tidak butuh untuk membeli sepatu maupun sendal. Sekali menolak, beliau tetap menawarkan produknya. Aku pun mulai kesal karena sampai penolakan yang ketiga, pemuda ini tetap mengeluarkan segala jenis barang dagangannya sambil mempromosikan berbagai jenis sepatu dan sendal. 

Ah, aku pun kesal dengan sikap penjual ini. Ditambah lagi, kondisi kepalaku yang sedang mumet dan badanku yang lelah, aku pun meminta penjual sepatu dan sendal ini untuk pergi meninggalkan kami dengan nada yang agak meninggi. Si penjual itu pun juga ikutan kesal dan dengan cepat segera membereskan barang dagangannyya, lalu bersiap pergi meninggalkan kami.

Ketika sang pemuda itu hampir pergi meninggalkan kedai ayam bakar tersebut, si mbok penjual ayam bakar tiba-tiba memanggil pemuda tersebut. Sontak sang pemuda segera mempercepat langkahnya karena mengira akan dimarahi oleh si mbok. Tetapi, sebuah keputusan nan mulia muncul dari tindakan si mbok.

Si mbok penjual ayam bakar memanggil pemuda penjual sepatu dan sendal itu. Beliau hendak memberikan segelas es teh manis untuk si pemuda yang tampak kehausan. Sang pemuda menolak karena merasa tidak enak karena telah mengganggu warungnya. Tetapi si mbok memanggil salah satu asistennya dan menyuruhnya untuk memberikan sebungkus es teh manis kepada pemuda penjual sepatu dan sendal itu. 

Ketika sang pemuda menerima es teh manis pemberian si mbok penjual ayam bakar tersebut, raut muka si mbok berubah menjadi cerah dan berseri-seri. Sebungkus es teh manis sore itu telah melegakan dahaga jasmani sang penjual sepatu dan sendal keliling tersebut, tetapi tindakan si mbok yang penuh ketulusan telah melepaskan dahaga rohani aku dan sahabatku untuk saling berbagi kepada sesama manusia. 

Aku, bersama sahabatku pun berjalan menyusuri sore di selatan Jakarta itu dengan insightdan inspirasi baru...

Catatan Perjalanan KRL : Bapak Tua VS Ibu PNS

Stasiun Gondangdia petang itu tidak terlalu ramai. Maklum, hari ini adalah hari Sabtu. Seperti biasa, aku menunggu di peron jalur 2, menanti kedatangan KRL Commuter jurusan Jakarta Kota-Bekasi yang selalu kutumpangi untuk pulang ke rumah. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kereta pun tiba di stasiun Gondangdia. 

Ketika masuk ke dalam gerbong, penumpang tidak terlalu penuh. Aku tidak perlu bersesak-sesakan untuk naik. Tetapi nampaknya aku kurang beruntung. Semua kursi penumpang sudah terisi. Akhirnya aku pun harus berdiri. Lepas dari stasiun Gondangdia, aku menikmati pemandangan yang kuamati lewat jendela. Pesona langit sore yang berwarna jingga, dipadu dengan guratan-guratan tipis awan, serta sinar yang dipancarkan oleh gedung-gedung bertingkat di kawasan Kuningan dan Sudirman menambah nikmatnya keindahan sore itu. 

Tak lama berselang, tibalah kereta di Stasiun Cikini. Dari arah peron, masuklah dua PNS dengan tergesa-gesa sambil berbincang seorang dengan yang lain. Kebetulan, dua orang penumpang yang tadi menduduki kursi prioritas sudah turun di stasiun ini sehingga kedua ibu PNS itu pun duduk disana. Di belakang kedua ibu itu, ada seorang bapak berumur paruh-baya yang dengan langkah terseok-seok berusaha masuk ke gerbong itu. Tampak kaki bapak itu buntung sebelah. Karena aku tidak berdekatan dengan pintu yang dibuka, aku tak sempat membantu bapak itu untuk naik. Tetapi beliau berjalan menuju ke arahku dan berdiri di sampingku. Hatiku tergerak untuk mencoba mencarikan tempat duduk untuknya. Kulihat kedua ibu PNS tadi yang masih asik mengobrol. Dengan membawa niatan yang baik, aku mencoba meminta satu kursi kosong untuk sang bapak. Tetapi rupanya bapak tua itu membaca pikiranku. Dia menahan gerakanku. Lalu dia berkata, "Sudah, tidak apa-apa, biarkan saja mereka duduk istirahat. Mungkin saja mereka lelah dan penat sehabis bekerja." 

Aku tertegun mendengar perkataan bapak itu, lalu kubalik pernyataan beliau, "Pak, tapi kan bapak memiliki hak prioritas untuk menempati tempat duduk itu." Lalu sang bapak membalas, "Bapak masih kuat untuk berdiri sampai tempat tujuan. Setidaknya, bapak sudah memberikan kebahagiaan untuk orang lain walau hanya untuk sesaat."

Tak terasa, kereta sudah melaju melewati beberapa stasiun. Tinggal satu stasiun lagi dan aku pun harus turun. Setelah berpamitan dengan bapak itu, aku pun melangkahkan kaki keluar dari gerbong kereta. Kata-kata tadi sungguh menghangatkan hatiku. Kupandang sekali lagi langit sore itu. Sinar matahari yang temaram, menambah birunya hatiku untuk melangkahkan kaki keluar dan mensyukuri segala pengalaman yang boleh kuterima pada hari itu. Bapak tua, dua ibu PNS, dan KRL Jakarta Kota-Bekasi sore itu, telah menjadi sahabat bagiku untuk memahami makna kehidupan. 

Catatan Awal Tahun Ajaran : Ketika Aku (Harus) Belajar...

Sudah menjadi rutinitasku yang baru bahwa setiap akhir Minggu, aku harus menyambangi wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara untuk "mempersiapkan diri menyongsong masa depan" (baca: Les). Begitu pula akhir Minggu ku kali ini. Tanpa sengaja, aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang sangat aktif dan pintar. Sayang, karena satu dua faktor, tahun lalu, dia harus tinggal kelas. Sebut saja nama sahabatku ini dengan sebutan Milo. 

Dulu, sewaktu masih bersama-sama di kelas 10 dan 11, aku cukup dekat dengan Milo. Bahkan, di hari pengumuman ketidak-naikkan kelas, aku masih berdua dengan beliau hingga sore hari. Meskipun aku berbeda jurusan dengan beliau, kami tetap menjalin persahabatan yang cukup erat. 

Hari ini, secara tidak sengaja, aku berjumpa dengan Milo di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Kelapa Gading. Kami pun memutuskan untuk duduk sejenak hendak berbincang-bincang. Namun kali ini, tak seperti biasa. Milo mengeluarkan beberapa lembar soal latihan Matematika, lalu setelah sedikit berbasa-basi mulai mengerjakan soal-soal itu. Ah, aku pun tak mau kalah. Ku keluarkan buku Akuntansi yang memang secara tidak sengaja masih tertinggal di dalam tasku. 10 menit berlalu, kami berdua masih asyik dengan pekerjaan masing-masing, 20 menit.., hingga 30 menit berlalu. Akhirnya aku membuka pembicaraan dengan beliau. 

"Mil, kok lu sekarang jadi rajin, sih?". "Ah, bisa aja lu. Tapi emang iya sih, setelah gue pikir-pikir, ternyata emang kebanyakan anak vete emang berubah jadi rajin. Gue pikir-pikir, ada untungnya juga gue vete. Sekarang, gue bisa mempersiapkan diri untuk menapaki jenjang perguruan tinggi dengan lebih matang. Sekarang, gue ikut les bahasa Jerman. Gue jadi lebih memahami sebenarnya apa sih mimpi-mimpi gue, kemana tujuan gue selanjutnya, dan bagaimana cara merealisasikannya. ", paparnya demikian.  Aku tertegun sejenak mendengar jawaban yang begitu bersemangat. Ada sebuah mimpi, ada sebuah asa dan harapan dibalik keterpurukkan. 

Ketika kulihat kembali kedalam diriku, aku memang beruntung tidak harus tinggal kelas seperti Milo, tetapi berbicara soal optimisme, soal mimpi, dan soal perencanaan kedepan, kuyakin, diriku belum tentu sematang beliau. Terkadang, aku masih sering tidak paham, mengapa aku harus di"bombardir" dengan berbagai macam les-lesan yang sering membuatku frustasi. Sudah disekolah harus menghadapi materi pelajaran yang tidak mudah, pulang sekolah masih saja di"hajar" dengan berbagai materi perguruan tinggi yang menyusahkan dan membuat kepala terasa pening. Tetapi justru disinilah tantangannya. Sejauh mana aku mau berjuang. Sejauh mana aku bisa bertahan. Sejauh mana aku mampu untuk terus belajar, dan harus terus belajar. Aku belajar, karena aku tahu alasan kenapa aku harus belajar.  

Mil, aku memang perlu belajar banyak hal dari dirimu. Meskipun banyak orang meremehkan kekuranganmu, kau tetap panutanku.  

"Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia, karena Tuhan sekalipun tidak pernah" -Donny Dhirgantoro-

Catatan Awal Ramadhan: "Minumnya di Dalam Saja, Ya..."

Minggu (29/6/2014) - Hari ini merupakan hari pertama bagi umat Muslim menjalankan ibadah puasa. Jakarta sebagai kota yang terkenal dengan pluralisme dan toleransinya menyimpan sejuta kisah untuk diceritakan. Salah satunya adalah pengalaman yang kualami pada hari ini.

Siang itu, udara di daerah Pademangan, Jakarta Utara cukup terik. Misa hari minggu baru saja usai. Aku beserta keempat rekanku memutuskan untuk membeli jus buah di belakang area Gereja. Dengan penuh sukacita karena bisa berkumpul untuk misa bersama teman-teman, kami berjalan menuju lokasi jus buah itu. Jaraknya kira-kira 50 meter dari pintu gerbang belakang Gereja Santo Alfonsus Rodriguez. 

Seperti layaknya anak remaja, kami saling berbagi cerita, melempar canda dan tawa sambil asyik menunggu pesanan jus buah. Aku memesan jus alpukat, dan teman-temanku memesan jus mangga serta belimbing. Tak lama setelah itu, selesailah satu gelas jus mangga. Sambil asyik mengobrol, dia mengambil jus tersebut dan menusukkan sedotan, lalu menyerusupnya di tengah terik matahari siang yang menyengat. Ahh.. sungguh segar......

Kemudian secara beruntun, selesai pula lah jus-jus lainnya, dan kami pun tak sabar untuk segera menghabiskannya. Satu-dua teguk pertama begitu terasa nikmat. Kemudian, muncullah seorang pastur yang tadi memimpin misa. Beliau berjalan keluar dari gerbang gereja menuju ke arah kami. Jelas beliau mengenal kami dan kami mengenal beliau karena tadi seusai misa kami sempat saling berbincang. 

Dengan penuh sukacita, kami pun menyapa beliau, "Siang Mo..., mau kemana?". Lalu sang pastur pun menjawab dengan tersenyum, "Mau kearah sana. Hari ini, hari pertama puasa bukan?", tanyanya setengah menyindir. "Nah, kalian jangan minum di tempat umum seperti ini, apalagi di tengah jalan dan di tengah teriknya matahari. Minumnya di dalam saja, ya... (sambil menunjuk ke arah gerbang Gereja). Tidak enak bukan apabila dilihat oleh saudara-saudara kita yang sedang menjalankan ibadah puasa." Sontak hatiku pun tergelitik. Perbuatan yang tidak kami sadari itu ternyata bisa mengganggu kenyamanan orang lain. 

Kita, terutama umat kristen ataupun umat agama minoritas lainnya seringkali mengeluh karena tingginya sikap intoleransi. Kita seringkali mengeluh karena merasa kurang diperhatikan, sering dirugikan, dan tertekan sebagai minoritas. Kita juga sering menuntut agar sebagai minoritas, lebih diperhatikan. Tetapi terkadang, kita kurang sadar pentingnya untuk juga menghargai orang lain. Dan yang lebih pelik lagi, kita sering menggembar-gemborkan kampanye untuk melawan tindakan intoleransi agama. Kita hanya memahami kulit luarnya, memahami teorinya, tetapi terkadang lupa akan esensinya yaitu praktek di kehidupan nyata. 

Sebuah pengalaman sederhana ini mengingatkan kita akan sulitnya menghormati dan menghargai orang lain. Tindakan-tindakan yang tidak disengaja, tidak disadari, seringkali terjadi. Dan hal-hal kecil semacam inilah yang memicu timbulnya gesekan-gesekan antar umat beragama. 

Kami berlima pun memutuskan untuk kembali memasukkan minuman kami ke dalam kantong plastik, berjalan menuju area Gereja, kemudian melanjutkan untuk menikmati jus buah kami. Sementara aku, hanya bisa termenung, dan kata-kata pastur itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. 

"Minumnya di dalam saja, ya..."

Catatan Tengah Ulangan Umum : Tawa Masih Ada

(22/05/2014) - Siang itu, cuaca kota Jakarta cukup terik. Jam menunjukkan pukul 11.00. Hari ini tidak seperti biasanya, aku memiliki kesempatan untuk pulang lebih awal karena merupakan hari pertama ulangan umum semester genap. Seperti biasa, dari sekolah, aku menuju ke Stasiun Gondangdia. Tidak seperti biasanya, siang itu aku memilih KRL Jakarta Kota jurusan Bogor ketimbang jurusan Bekasi. Perjalanan memakan waktu +/- 15 menit hingga aku tiba di Stasiun Tebet. Turun dari KRL, aku langsung mencari Metromini nomor 52 untuk melanjutkan perjalananku menuju rumah. Hiruk pikuk Stasiun Tebet merupakan pemandangan yang biasa bagiku karena aku sering menghadapi situasi ini. Setelah kutemukan Metromini 52, aku langsung naik dan tak lama kemudian, mesin Metromini itupun dinyalakan tanda kendaraan itu siap untuk jalan. 

Kernet Metromini dengan sigap naik melalui pintu belakang dan mengetokkan sebuah koin lima ratus rupiah ke pintu metromini yang terbuat dari fiber-glass. Pemandangan semacam ini normal-normal saja dimata pengguna metromini sepertiku sebagai moda transportasi utama. Tiba-tiba, ada seorang bapak tua mengejar metromini yang kutumpangi. Dengan santai dan tak peduli, sang kernet melempar uang dua ribuan ke jalanan sembari sang sopir menancap gas. Kulihat raut muka bapak tua itu, wajahnya menunjukkan keceriaan yang tulus. Beliau mengambil uang dua ribuan yang tadi dilemparkan sang kernet sambil melambaikan tangan dengan wajah tersenyum setengah tertawa.

"Siapakah dia?"

Ah, tak penting memang untuk menelisik lebih jauh. Bisa saja dia tukang minta-minta, bisa saja tukang parkir, ataupun pria penjaga tempat nge-tem Metromini disitu. Intinya bagiku, mungkin peran orang itu tidak penting. Mereka adalah bagian dari sisi kelam kota ini yang terlupakan. Namun, aku melihat ada secercah kebahagiaan di tengah kerasnya kehidupan kota metropolitan ini.

Metromini pun melaju dengan kecepatan tinggi, sembari angin dengan leluasa masuk melalui pintu belakang yang terbuka lebar. Semilirnya berhembus melewati kepalaku, sembari terasa merasuk kedalam relung hatiku. Sementara itu, aku pun duduk termenung di kursi paling belakang sambil terus memikirkan kejadian tadi. Di tengah kejamnya kehidupan terminal, di tengah tingginya kriminalitas, dan ditengah kerasnya kehidupan Kota Jakarta, tawa dan canda masih ada, memberikan kita secercah harapan untuk tetap merasa,

"Aku masih hidup". 

Perjuangan Takkan Berakhir Hari Ini (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)

“Maunya apa sih? Gue maunya masuk IPA, malah ditulisnya IPS. Pokoknya gak mau tau,gue mau banding dan harus, kudu, wajib masuk IPA”. Ya, sekilas seperti itulah seruan dan gerutuan yang keluar dari mulut beberapa temanku seusai pembagian laporan nilai akhir tahun ajaran 2012-2013 siang tadi. Banyak yang mendapat nilai memuaskan, tetapi tidak sedikit juga yang memperoleh hasil yang mengecewakan. Ada teman-teman yang mendapat kesempatan untuk memilih program jurusan (IPA/IPS), ada yang mendapat hanya salah satu program jurusan, tetapi ada pula yang mendapat program jurusan yang tidak sesuai dengan ekspektasinya masing-masing.

“Nasi sudah menjadi bubur”. Mungkin kutipan itulah yang kurasa tepat untuk menggambarkan keadaan yang terjadi hari ini. Apa yang tertera di laporan nilai itulah yang menjadi implementasi dari apa yang telah kita lakukan selama kurang lebih satu semester ini. Hasil baik ataupun buruk adalah kita sendiri masing-masing yang mengukirnya. Puas, ataupun tidak puas dengan hasil itu, harus diterima dengan lapang dada. Aku tertegun saat menyaksikan seorang ibu yang menjemput anaknya di parkiran motor siang tadi. Ketika anak itu menyerahkan laporan nilainya, ia berkata, “Maaf ma, hasilnya belum memuaskan, belum sesuai dengan apa yang aku dan mama harapkan. Aku harus masuk ke jurusan IPS karena nilai Fisikaku dibawah KKM. Maafkan aku ya ma.” Sejenak aku diam. Aku terbekukan oleh ketulusan dan keberanian anak itu untuk mengucapkan sebuah kejujuran. Ya, mengatakan sebuah kejujuran walaupun itu pahit. Lalu sang ibu pun berkata sambil mengelus rambut anak itu, “ Tidak apa-apa nak, kalau memang itu hasil akhirnya. Kamu telah memberikan usahamu, dan mama percaya walaupun mama melihat selama ini kamu kurang bisa untuk berkonsentrasi dalam belajar, kamu telah memberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuanmu.” Aku setengah tidak percaya dan terpana melihat betapa bijaksananya, betapa lembutnya hati ibu itu. Memang benar, kejujuran akan berbuah manis. Mungkin itulah salah satu sikap yang diidam-idamkan oleh seluruh siswa terhadap orang tuanya, “memarahi” dengan cinta, dan kasih sayang. Sayangnya, aku yakin bahwa tidak semua orang tua bisa bersikap seperti itu. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, bahwa masih banyak orang tua yang memegang teguh paradigma yang lama bahwa, IPA lebih sukses daripada IPS.

Sehabis melihat peristiwa itu, aku kembali melihat kedalam diriku. Beruntung bagiku dan bagi sebagian teman-temanku yang masih diberi “kesempatan” untuk memilih program jurusan. Aku masih diberikan pilihan oleh Tuhan. Aku, sebagai seorang Kanisian. Apakah aku sudah memberikan yang terbaik dalam hal belajar? Sudahkah kepercayaan yang orang tua ku berikan, kumanfaatkan sebaik-baiknya, ku gunakan setiap fasilitas yang ada dengan bijaksana? Sulit memang untuk menjadi orang yang sempurna. Tetapi tidak sulit untuk mencoba, dan berusaha untuk menjadi sempurna.

Aku percaya, bahwa penentuan program jurusan ini bukanlah sebuah ending dari seluruh dinamika pembelajaran kita, dari proses pembelajaran kita bergulat dengan 17 mata pelajaran yang sungguh melelahkan di tahun pertama kita di kelas X SMA Kolese Kanisius ini. Tetapi, proses setahun yang telah kita lalui ini, adalah ajang untuk “mencari”. Setahun yang lalu, aku berada dalam masa-masa awal adaptasi dan hal yang paling meresahkanku adalah, mampukah aku beradaptasi dengan atmosfer, tradisi, dan situasi di kolese ini. Tetapi kini, yang menjadi tanda tanya besar adalah, mampukah aku mengembangkan diriku, dari segala aspek, baik competenceconsciencecompassion, maupun leadershipapapun program jurusan yang kudapat, apapun tantangan besar yang merintangi jalanku di depan.

Percayalah kawanku, perjuangan kita selama setahun kemarin adalah modal yang berharga bagi kita untuk menempuh jalan di depan. Jalan itu mungkin mempunyai dua cabang, tetapi pada akhirnya, cabang itu akan bermuara pada laut yang sama, “lautan kehidupan”, lautan yang penuh dengan kompetisi. Entah IPA atau IPS, entah baik ataupun buruk nilai yang kita peroleh, percayalah bahwa jalan panjang itu masih merentang. Kita belum terlambat, kawanku. Dan tetaplah menjadi orang yang “nakal”, tetaplah menjadi orang yang  “cerewet”, dan tetaplah menjadi orang yang “iseng” selama semua hal itu menjadi hal yang positif. Tetaplah menjadi diri kalian sendiri, dengan membawa nama baik Kanisius beserta nilai-nilai dan tradisi yang terkandung di dalamnya. Dan kawanku, aku hanya berharap bahwa janganlah kehidupan kita 2 tahun kedepan terkotak-kotakkan hanya oleh program  jurusan. Ingatlah, bahwa kita adalah angkatan CC ’15. Ingatlah selalu akan canda  dan tawa kita, di kala teman kita di bugilin di kelas, saat kita bernyanyi tak karuan diiringi oleh gitar dengan suara sumbang, seperti apa atmosfer kompetisi yang membaur dengan persahabatan saat Kenari Cup diadakan, dan bagaimana kita dengan “haus”nya memperhatikan pelajaran di kelas.

“Layar masih terkembang, dan perahu tetap berlayar”. Apapun program jurusan yang kita pilih, tetap junjung ciri khas dan tradisi angkatan kita. Tetaplah menjadi diri kita masing-masing. Tetap optimis, tetap bergerak maju, dan TETAP SEMANGAT !

"Kami Satu, dalam suka duka, cinta kasih, dan persaudaraan " 

Di Hari Penerimaan Laporan Nilai
13 Juni 2013

Antara Uang dan Passion

“Mau masuk jurusan apa?”, tanya seorang guru BK kepada salah satu siswa kelas X. “Belum tahu nih pak, saya masih galau ”, jawab anak itu. Itulah sepintas dialog-dialog sederhana yang kerap kali terjadi pada saat beberapa minggu menjelang kenaikan kelas, atau menjelang penjurusan bagi kelas X. Ya, suatu konsep kurikulum yang mengharuskan kita untuk memilih. Pilihan yang rumit, vital, dan beresiko. Pilihan yang akan menentukan masa depan kita selanjutnya, di jenjang pendidikan selanjutnya, hingga ke jenjang dunia kerja. Terlepas dari konsep kurikulum di Indonesia yang tergolong masih “prematur”, kita tetap harus memilih. Satu diantara dua. IPA atau IPS.

Sebagai siswa kelas X, aku masih bingung untuk menentukan pilihanku sendiri. Paradigma masyarakat yang memiliki konsep bahwa anak IPA lebih sukses daripada anak IPS membuat orang tua kita menyarankan kita baik secara halus ataupun keras untuk masuk jurusan IPA. Tak perlu munafik, terkadang kita pun terbawa dalam paradigma masyarakat itu sendiri hingga pada akhirnya kita pun akan condong dan akan memaksakan memilih IPA.

Kolese Kanisius, yang disebut-sebut sebagai “sarang”nya orang pilihan yang konon memiliki kelebihan di bidang akademis telah membuktikan fakta diatas. Perbandingan kelas IPS dan IPA (1:5) yang terpaut jauh menunjukkan tingkat popularitas jurusan IPA yang mendominasi jurusan IPS. Memang tak bisa dipungkiri bahwa sebagai siswa laki-laki, jurusan IPA lebih diminati karena pada dasarnya laki-laki menyukai ha-hal yang baru dan menyukai kegiatan-kegiatan eksperimen, jurusan IPA lebih menjanjikan prospek di dunia kerja, dan juga dari segi finansial, dunia kerja dari jurusan IPA lebih bisa mendatangkan uang . Namun, apabila kita tinjau lebih dalam lagi, apakah memang benar antara IPS dan IPA memiliki tingkat perbedaan yang sejomplang itu?

Menurut pengamatanku, IPA adalah saat dimana Anda berpikir (matematis, logika, perhitungan), tetapi IPS adalah saat dimana Anda berkarya (analisa sosial, diskusi, laporan pengamatan). Ya, ketika Anda belajar Fisika, Anda akan belajar hal-hal sederhana yang di “rumit”kan. Contohnya, ketika pelajaran pesawat sederhana, Anda harus menghitung besar gesekan yang terjadi apabila Anda mendorong sebuah kardus dengan jarak sekian. Tentu hal-hal semacam ini tidak terlalu dibutuhkan dalam dunia nyata kecual Anda mau jadi ahli Fisika, bukan? Tetapi apabila Anda belajar Sosiologi, Anda akan mengenal konsep-konsep baru mengenai penyimpangan seksual seperti zoofilia, genteroseksual, dll.

Bicara soal IPS, ternyata anak IPS juga bisa sesukses, atau bahkan lebih sukses dari anak IPA, lho. Contoh konkretnya, adalah Bpk. Chatib Basri, salah satu alumnus Kolese Kanisius yang menjadi Menteri Keuangan saat ini ternyata pada waktu SMA mengambil jurusan IPS. Untuk memilih jurusan IPS, diperlukan niat, tekad, dan passion yang kuat. Butuh semangat sebagai seorang yang berjiwa sos, yang punya hasrat untuk menganalisa dari sudut pandang sosial. Dalam memilih pekerjaan pun, hanya dengan passion yang sungguh-sungguh, maka karya kita akan menjadi bermanfaat bagi orang lain. Jadi, buat apa kita takut untuk memilih jurusan IPS apabila memang sesuai dengan passion kita?

Akhir kata, masalah pemilihan jurusan tidak bisa diremehkan. Ini menentukan pilihan kita di masa depan. Kembali lagi, untuk memilih jurusan yang tepat, tidak hanya ditimbang dari faktor nilai saja, tetapi juga lewat refleksi yang menggambarkan perjalanan kita selama setahun. Ya, kasarnya, antara IPA dan IPS, adalah antara uang atau passion. Tetapi terlepas dari hal itu, kita harus tetap memilih dan sebagai Kanisian, kita harus tetap memegang prinsip bahwa apa yang kita pilih, apa yang kita lakukan, semua hanya demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan semata. –Ad Maiorem Dei Gloriam-

Jakarta, 10 Juni 2013