Minggu, 22 Maret 2015

Catatan Tengah Ulangan Umum : Tawa Masih Ada

(22/05/2014) - Siang itu, cuaca kota Jakarta cukup terik. Jam menunjukkan pukul 11.00. Hari ini tidak seperti biasanya, aku memiliki kesempatan untuk pulang lebih awal karena merupakan hari pertama ulangan umum semester genap. Seperti biasa, dari sekolah, aku menuju ke Stasiun Gondangdia. Tidak seperti biasanya, siang itu aku memilih KRL Jakarta Kota jurusan Bogor ketimbang jurusan Bekasi. Perjalanan memakan waktu +/- 15 menit hingga aku tiba di Stasiun Tebet. Turun dari KRL, aku langsung mencari Metromini nomor 52 untuk melanjutkan perjalananku menuju rumah. Hiruk pikuk Stasiun Tebet merupakan pemandangan yang biasa bagiku karena aku sering menghadapi situasi ini. Setelah kutemukan Metromini 52, aku langsung naik dan tak lama kemudian, mesin Metromini itupun dinyalakan tanda kendaraan itu siap untuk jalan. 

Kernet Metromini dengan sigap naik melalui pintu belakang dan mengetokkan sebuah koin lima ratus rupiah ke pintu metromini yang terbuat dari fiber-glass. Pemandangan semacam ini normal-normal saja dimata pengguna metromini sepertiku sebagai moda transportasi utama. Tiba-tiba, ada seorang bapak tua mengejar metromini yang kutumpangi. Dengan santai dan tak peduli, sang kernet melempar uang dua ribuan ke jalanan sembari sang sopir menancap gas. Kulihat raut muka bapak tua itu, wajahnya menunjukkan keceriaan yang tulus. Beliau mengambil uang dua ribuan yang tadi dilemparkan sang kernet sambil melambaikan tangan dengan wajah tersenyum setengah tertawa.

"Siapakah dia?"

Ah, tak penting memang untuk menelisik lebih jauh. Bisa saja dia tukang minta-minta, bisa saja tukang parkir, ataupun pria penjaga tempat nge-tem Metromini disitu. Intinya bagiku, mungkin peran orang itu tidak penting. Mereka adalah bagian dari sisi kelam kota ini yang terlupakan. Namun, aku melihat ada secercah kebahagiaan di tengah kerasnya kehidupan kota metropolitan ini.

Metromini pun melaju dengan kecepatan tinggi, sembari angin dengan leluasa masuk melalui pintu belakang yang terbuka lebar. Semilirnya berhembus melewati kepalaku, sembari terasa merasuk kedalam relung hatiku. Sementara itu, aku pun duduk termenung di kursi paling belakang sambil terus memikirkan kejadian tadi. Di tengah kejamnya kehidupan terminal, di tengah tingginya kriminalitas, dan ditengah kerasnya kehidupan Kota Jakarta, tawa dan canda masih ada, memberikan kita secercah harapan untuk tetap merasa,

"Aku masih hidup". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar