Minggu, 22 Maret 2015

Antara Uang dan Passion

“Mau masuk jurusan apa?”, tanya seorang guru BK kepada salah satu siswa kelas X. “Belum tahu nih pak, saya masih galau ”, jawab anak itu. Itulah sepintas dialog-dialog sederhana yang kerap kali terjadi pada saat beberapa minggu menjelang kenaikan kelas, atau menjelang penjurusan bagi kelas X. Ya, suatu konsep kurikulum yang mengharuskan kita untuk memilih. Pilihan yang rumit, vital, dan beresiko. Pilihan yang akan menentukan masa depan kita selanjutnya, di jenjang pendidikan selanjutnya, hingga ke jenjang dunia kerja. Terlepas dari konsep kurikulum di Indonesia yang tergolong masih “prematur”, kita tetap harus memilih. Satu diantara dua. IPA atau IPS.

Sebagai siswa kelas X, aku masih bingung untuk menentukan pilihanku sendiri. Paradigma masyarakat yang memiliki konsep bahwa anak IPA lebih sukses daripada anak IPS membuat orang tua kita menyarankan kita baik secara halus ataupun keras untuk masuk jurusan IPA. Tak perlu munafik, terkadang kita pun terbawa dalam paradigma masyarakat itu sendiri hingga pada akhirnya kita pun akan condong dan akan memaksakan memilih IPA.

Kolese Kanisius, yang disebut-sebut sebagai “sarang”nya orang pilihan yang konon memiliki kelebihan di bidang akademis telah membuktikan fakta diatas. Perbandingan kelas IPS dan IPA (1:5) yang terpaut jauh menunjukkan tingkat popularitas jurusan IPA yang mendominasi jurusan IPS. Memang tak bisa dipungkiri bahwa sebagai siswa laki-laki, jurusan IPA lebih diminati karena pada dasarnya laki-laki menyukai ha-hal yang baru dan menyukai kegiatan-kegiatan eksperimen, jurusan IPA lebih menjanjikan prospek di dunia kerja, dan juga dari segi finansial, dunia kerja dari jurusan IPA lebih bisa mendatangkan uang . Namun, apabila kita tinjau lebih dalam lagi, apakah memang benar antara IPS dan IPA memiliki tingkat perbedaan yang sejomplang itu?

Menurut pengamatanku, IPA adalah saat dimana Anda berpikir (matematis, logika, perhitungan), tetapi IPS adalah saat dimana Anda berkarya (analisa sosial, diskusi, laporan pengamatan). Ya, ketika Anda belajar Fisika, Anda akan belajar hal-hal sederhana yang di “rumit”kan. Contohnya, ketika pelajaran pesawat sederhana, Anda harus menghitung besar gesekan yang terjadi apabila Anda mendorong sebuah kardus dengan jarak sekian. Tentu hal-hal semacam ini tidak terlalu dibutuhkan dalam dunia nyata kecual Anda mau jadi ahli Fisika, bukan? Tetapi apabila Anda belajar Sosiologi, Anda akan mengenal konsep-konsep baru mengenai penyimpangan seksual seperti zoofilia, genteroseksual, dll.

Bicara soal IPS, ternyata anak IPS juga bisa sesukses, atau bahkan lebih sukses dari anak IPA, lho. Contoh konkretnya, adalah Bpk. Chatib Basri, salah satu alumnus Kolese Kanisius yang menjadi Menteri Keuangan saat ini ternyata pada waktu SMA mengambil jurusan IPS. Untuk memilih jurusan IPS, diperlukan niat, tekad, dan passion yang kuat. Butuh semangat sebagai seorang yang berjiwa sos, yang punya hasrat untuk menganalisa dari sudut pandang sosial. Dalam memilih pekerjaan pun, hanya dengan passion yang sungguh-sungguh, maka karya kita akan menjadi bermanfaat bagi orang lain. Jadi, buat apa kita takut untuk memilih jurusan IPS apabila memang sesuai dengan passion kita?

Akhir kata, masalah pemilihan jurusan tidak bisa diremehkan. Ini menentukan pilihan kita di masa depan. Kembali lagi, untuk memilih jurusan yang tepat, tidak hanya ditimbang dari faktor nilai saja, tetapi juga lewat refleksi yang menggambarkan perjalanan kita selama setahun. Ya, kasarnya, antara IPA dan IPS, adalah antara uang atau passion. Tetapi terlepas dari hal itu, kita harus tetap memilih dan sebagai Kanisian, kita harus tetap memegang prinsip bahwa apa yang kita pilih, apa yang kita lakukan, semua hanya demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan semata. –Ad Maiorem Dei Gloriam-

Jakarta, 10 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar