Senin, 23 Maret 2015

Catatan Pasca Ujian : Senja di Utara Jakarta

Hati terasa sepi ketika melihat untaian aksara berbaris diatas selembar kertas putih. Terkesiap, sesuatu di dunia ini tak pernah ada yang pasti. Sejenak aku menghela napas sebelum kuputuskan untuk keluar dari ruang nestapa itu. Ah, satu cobaan yang kulewati lagi minggu ini.

Masa depan layaknya butir-butir pertanyaan ulangan akuntansi, terombang-ambing diantara dua kepastian. Remedial, atau lulus. Tetapi sayangnya hidup ini tak ada remedialnya. Terdesak didalam keadaan subsisten. Tetapi waktu terus bergulir dengan sadisnya tanpa pernah punya kasihan. Setiap detik memiliki jutaan arti yang tak pernah mampu diungkap oleh manusia.

Hidup itu layaknya sebuah bola yang dimainkan oleh seorang anak balita, yang menjadi representasi dari Tuhan. Dan kita adalah seekor tikus yang terjebak di dalam bola itu. Ketika bola itu ditendang, kita bisa terpental ke posisi puncak, atau bahkan terjerembab ke dasar bola itu.

Hari ini, aku melihat secercah harapan. Aku bukan lagi tikus di dalam bola. Hidup menjadi sesuatu yang penuh makna ketika syukur menjadi senapan untuk melawan setiap kesedihan, kemalangan, dan keputus asaan, serta harapan menjadi peluru yang siap menembus masa depan.

Di dalam segala kerisauan itu, aku berjalan melangkah, menatap masa depan. Aku ingin menantang angin, menerjang ombak, menembus setiap asa yang kubangun di dalam sebuah utopia kehidupan yang disebut cita-cita. Dan yang paling penting dari semuanya itu, aku diciptakan untuk menjadi garam dunia, yang larut tetapi tidak hanyut.

Bidukku kan kukayuh menyebrang samudra demi kandas di taman surga. 

7 Februari 2015

3 komentar: